Oleh : Dr. Abdul Aziz (Peneliti dan Dosen FEB, Universitas Andalas)
Di lereng-lereng hijau yang membentang di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Pesisir Selatan, ribuan petani meniti hari-harinya di antara kabut dan keheningan. Dari kejauhan, barisan pepohonan gambir tampak seperti simbol ketekunan, namun di balik hijaunya dedaunan itu tersimpan kisah panjang tentang kerja keras, keterasingan, dan nasib yang tak kunjung berubah. Petani gambir bukan hanya menanam dan memanen, mereka juga menanggung beban yang sering kali tak terlihat: medan terjal yang memisahkan rumah dengan kebun, alat kempa yang masih tradisional, dan jarak dari sumber listrik yang membuat pekerjaan mereka nyaris serupa pengorbanan.
Selama musim panen, mereka harus meninggalkan rumah hingga dua minggu lamanya, hidup seadanya di gubuk kecil di tengah kebun. Mereka merebus daun dan ranting dengan tungku sederhana, menunggu hasil rebusan itu mengental sebelum dikempa menjadi gumpalan berwarna agaj gelap, itulah emas coklat Sumatera Barat yang menembus pasar dunia. Ironisnya, dari keringat yang menetes di lereng itu, keuntungan terbesar justru terbang jauh ke negeri lain.
Sumatera Barat sejatinya adalah raja dunia gambir. Sekitar 80% kebutuhan gambir dunia dipenuhi dari tanah Minangkabau. Pembelinya sebagian besar berasal dari India dan beberapa negara Asia lainnya. Namun, betapa getir rasanya menyadari bahwa di seberang sana, di lantai dansa para pengusaha India, aroma kemakmuran menguar dari hasil olahan gambir yang mereka beli murah dari lereng Sumatera Barat. Di sana ada tawa dan tarian di ruang-ruang berpendingin udara; sementara di sini, di bawah hutan rimbun, terdengar rintihan petani gambir yang rela bekerja dalam keterasingan.
Dengan tubuh letih dan mata yang sembab oleh asap tungku, mereka menunggu tetesan getah gambir dari kempa kayu tua yang ditarik dengan dongkrak besi lusuh, sebuah alat yang seolah menua bersama harapan mereka. Tak banyak yang mereka pinta, hanya cukup untuk membayar biaya sekolah anak-anaknya. Mereka bekerja dengan satu doa sederhana: semoga anak-anak mereka kelak tak lagi bernasib sama. Tak lagi harus hidup di bawah sunyi hutan sambil menunggu pengempaan terakhir menjelang senja.
Namun, sampai hari ini, harga gambir di tingkat petani masih tak berubah. Pasar dunia tak mudah digoyang. Selama Sumatera Barat hanya mengekspor bahan mentah, harga akan terus dikendalikan oleh pembeli di luar negeri. Rantai produksi nyaris tak beranjak selama puluhan tahun. Proses pengeringan, pemilahan, dan pengepakan masih dilakukan secara manual. Tidak ada nilai tambah yang tinggal di sini, hanya keringat dan waktu yang terus menetes tanpa penghargaan.
Padahal, dari bahan sederhana bernama gambir itu, dunia telah menciptakan beragam produk bernilai tinggi, mulai dari kosmetik herbal, penyamak kulit alami, bahan farmasi, hingga makanan sehat. Dunia telah berlari ke hilir, sementara Sumatera Barat masih bertahan di lereng yang sama, dengan cara yang sama, dan dengan penghasilan yang tak sebanding dengan kerja keras yang mereka curahkan.










