Inilah saatnya pemerintah daerah membuka mata dan menatap jauh ke depan. Pemda Sumatera Barat tidak boleh hanya bangga dengan status “pemasok terbesar dunia.” Prestasi sejati bukan diukur dari volume ekspor, melainkan dari seberapa besar manfaat ekonomi yang kembali kepada rakyatnya. Diperlukan langkah berani: membangun industri hilir berbasis gambir. Mendorong riset dan pengembangan produk turunan, membangun pusat inovasi di dekat sentra produksi, dan membuka jalan bagi koperasi petani agar mereka memiliki daya tawar yang lebih adil.
Namun, tanggung jawab ini tidak bisa hanya diserahkan kepada pemerintah. Kaum pengusaha muda, para anggota HIPMI Sumatera Barat, dan para pelaku bisnis sukses asal ranah Minang harus turun tangan. Sudah saatnya mereka menengok kembali kampung halaman, tempat di mana banyak di antara mereka berasal dan memberi makna baru bagi kesuksesan yang mereka raih.
HIPMI Sumbar, dengan jejaring dan semangat kewirausahaan yang mereka miliki, sesungguhnya bisa menjadi motor perubahan bagi ekonomi nagari. Mereka dapat membangun model bisnis inklusif yang menjembatani petani dengan teknologi, akses modal, dan pasar modern. Mereka bisa menjadi jembatan nilai tambah antara lereng yang jauh di pelosok dengan pasar global yang kini terbuka lebar. Sementara itu, para pengusaha senior yang telah mapan di rantau, tidak cukup hanya mengirimkan sumbangan sesekali, mereka perlu menghadirkan investasi sosial yang berkelanjutan.
Tetapi, pertanyaannya kini menggema di tengah keheningan hutan: Akankah pemerintah daerah Sumbar, HIPMI, dan para pengusaha sukses Minangkabau melupakan nasib sahabat dan kerabatnya yang tidak seberuntung mereka? Relakah mereka terus menari di ruang sejuk kota, sementara lenguhan pemanggul gambir yang menuruni bukit masih terdengar lirih di bawah naungan kabut? Apakah mereka akan terus membiarkan suara rantai mesin pengempa tua itu menjadi nyanyian sedih yang diwariskan dari ayah kepada anak, dari generasi ke generasi berikutnya?
Bukankah Minangkabau adalah nagari yang bermartabat, demokratis, penuh keramahan dan kekerabatan? Bukankah nilai-nilai saciok bak ayam, sadanciang bak basi, persatuan, empati, dan solidaritas, adalah pusaka yang Minangkabau banggakan? Kini, kita dituntut untuk membuktikan kembali bahwa pepatah dan petuah itu bukan sekadar warisan kata, melainkan arah tindakan.
Sumatera Barat dikenal sebagai tanah yang melahirkan orang-orang hebat, tokoh nasional, pemimpin, akademisi, dan pengusaha besar. Tapi betapa pilu menyadari bahwa di balik kebanggaan itu, rakyat di tanah kelahiran mereka masih berjuang dalam kemiskinan yang menahun. Paradoks ini tidak bisa dibiarkan menjadi warisan sejarah. Ketika daerah lain telah berlari dengan inovasi dan hilirisasi, Sumbar tidak boleh terjebak pada romantisme masa lalu.










