Perubahan harus dimulai dengan keberanian. Pemerintah daerah harus menjadi fasilitator yang visioner. Mengundang investasi, menyediakan lahan industri kecil-menengah berbasis komoditas lokal, dan menciptakan sistem insentif bagi pelaku usaha yang mau terjun mengolah gambir. Dunia usaha harus menjadi mitra sejajar, bukan sekadar pelengkap kebijakan. Perguruan tinggi dan lembaga riset di Sumbar juga memiliki tanggung jawab besar untuk menghadirkan teknologi tepat guna bagi proses pengolahan gambir, mulai dari pengeringan modern hingga formulasi produk bernilai tambah.
Bayangkan jika dari nagari-nagari penghasil gambir muncul produk-produk kebanggaan lokal: sabun herbal berbahan gambir, lotion alami, penyamak kulit organik, atau bahan tambahan pangan yang diekspor dengan merek “Made in West Sumatera”. Bayangkan pula jika setiap batang pohon gambir tak hanya menghasilkan bahan mentah, tetapi juga membuka lapangan kerja baru di desa. Itu bukan impian kosong, itu visi yang realistis jika semua pihak mau bergerak bersama.
Keberpihakan kepada petani bukan hanya soal kebijakan harga, tetapi soal keadilan dalam rantai ekonomi. Selama petani terus menjadi pihak paling lemah dalam sistem perdagangan, maka kesejahteraan tidak akan pernah turun dari langit. Pemerintah, HIPMI, dan para pengusaha sukses harus membangun mekanisme baru, ekonomi berbasis gotong royong yang memberi ruang bagi petani untuk menjadi bagian dari proses nilai tambah, bukan sekadar penyedia bahan mentah.
Inilah waktunya Sumatera Barat bangkit dari lereng yang lama ia huni, menuju industri hilir yang bernilai tinggi. Inilah saatnya anak-anak muda Minang, baik yang tinggal di rantau maupun di kampung, menyalakan kembali api kecintaan terhadap tanah kelahirannya melalui aksi nyata. Sebab bila tidak, kisah gambir akan terus menjadi kisah lama yang menyesakkan: tentang rakyat yang kaya hasil alam, tapi miskin karena sistem.
Maka kini waktunya Sumatera Barat mengurus kembali kekayaannya, bukan dengan kata, tapi dengan tindakan. Sebab takdir rakyatnya tidak akan berubah oleh nasib, melainkan oleh tangan-tangan anak nagari sendiri yang mau berbuat. (*)










