Oleh: Muhammad Nazri Janra (Dosen Departemen Biologi Fakultas MIPA Unand)
Kejadian hilangnya Bilqis, seorang anak perempuan berusia 4 tahun, di Makassar, Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu sebenarnya bukan contoh kejadian pertama perdagangan manusia (human trafficking). Ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu, kasus serupa sampai saat ini tercatat di Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GT-PPTPPO).
Lembaga ini merupakan gabungan dari Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan beberapa lembaga lainnya. Dari strukturnya saja sebenarnya dapat kita pahami bahwa perdagangan manusia merupakan masalah yang pelik sehingga diperlukan keterlibatan lintas instansi untuk menanganinya. Di lembaga ini, kasus Bilqis hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang pernah tercatat.
Pernah tercatat? Ya, dalam tujuh hari semenjak hilangnya Bilqis, bocah perempuan tersebut berhasil ditemukan 2.000 kilometer lebih dari tempat menghilangnya. Adalah di Merangin, Jambi ia ditemukan. Berkat kegigihan pihak yang berwenang, yang didukung oleh banyak “detektif netizen: yang selain terus menyemangati para penegak hukum, juga tidak lupa menyebarluaskan informasi berikut foto Bilqis dan orang yang diduga menculiknya ketika itu. Berkat itu semua, jejak perjalanan anak yang diculik tersebut bisa terendus sampai kepada keluarga Suku Anak Dalam (SAD) yang “membelinya” seharga 80 juta rupiah.
Tulisan ini mungkin tidak berfokus kepada proses pelacakan penculikan Bilqis sampai kepada pengembaliannya kepada keluarganya di Makassar. Tetapi mungkin lebih kepada mengulas sindikasi perdagangan manusia itu sendiri. Tentang betapa terorganisisnya mereka dalam melakukan aktivitas penculikan.
Bayangkan, tidak lebih dari setengah jam Bilqis terlepas dari pengawasan orang tua laki-lakinya yang sedang berolahraga, dia langsung dibawa tanpa banyak menimbulkan keributan. Untuk kemudian sampai di Jambi, setidaknya ada beberapa jalur yang ditempuh oleh pihak penculik untuk menghindari pihak berwajib.
Kemungkinan paling besar, dari Sulawesi menggunakan jalur laut untuk mencapai Surabaya sebelum menggunakan jalur darat untuk sampai ke Jakarta. Dari sana kemungkinan menyeberang dengan kapal feri menuju Sumatera sebelum kemudian menggunakan jalur darat berikutnya untuk sampai ke Jambi.










