“Biarlah politik itu milik orang-orang politik saja bung,” tegasnya dengan nada gusar saat saya tanya soal suksesi kepemimpinan hari ini.
Ha..ha..ha, saya tertawa mendengar jawaban itu. Sebab, saya seperti tak mengenal dirinya lagi. Dia yang dulu aktivis dan tajam dalam menganalis suatu persoalan. Kritis dan berapi api. Beda dengan kemarin.
Ya, saya sadar. Itu bukan keinginannya untuk berbeda. Itu, hanya suatu bentuk ketegasannya dalam pilihan.
Kembali soal politik hari ini, saya menanggapinya dengan santai saja. “Jangan baper bung. Santai saja, tak ada salahnya berpolitik. Tapi, tentu dalam konteks politik lain bung. Politik itu Asik, bukan nyelekit. Politik tak mesti berpolitik pilih si anu atau partai itu. Tapi, lihatlah dalam kacamata sosiologi bung. Politik itu cara. Cara bung. Cara kita memandang atau cara mencapai suatu keinginan kita bung. Bukan melulu soal politik yang partai-partai itu bung,” ujar saya dengan santai saja.
Ya, politik itu melekat dalam diri siapa saja. Jika soal kepemimpinan hari ini, berarti dengan cara tak berpihak dan bicara soal politik hari ini, sama saja kawan itu sudah berpolitik.
Berpolitik dalam konteks tak ingin bicara dan menjawab pertanyaan saya itu. Politik itu pilihan. Pilihannya tiga, yakni jawab, tak jawab atau diam. Diam juga dikatakan sikap politik.