Lain halnya dengan kawan yang birokrat. Baginya, siapapun pemimpin yang akan dipilih tentunya harus yang pro rakyat dan ngerti dengan birokrasi simple. “Jan hanyo pro rakyat di muluik sajo, tapi harus do tindakan. Tantunyo, itu bisa diliek dari visi misi mereka,” ujarnya sok paten.
Tampaknya, kawan nan polisi juga tak mau diam, Diapun menimpali. “Sia se nan ka jadi jadilah. Nan pantiang, inyo bisa mengayomi dan membuek nagariko aman dan bisa sinerji do berbagai pihak,” ujarnya.
Statmen berbeda dilontarkan kawan lainnya. Bahwa, baginya Sumatra Barat itu, butuh pemimpin petarung. Pemimpin yang gigih memperjuangkan nasib rakyatnya, nasib daerahnya dan memperjuangan hak daerahnya. Pemimpin petarung inilah yang dibutuhkan Sumatra Barat untuk bisa bangkit. Bangkit dan mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya di Indonesia.
Menurutnya, dulu Sumbar itu dikenal dengan istilah “Industri Otak”. Kini, otak-otak itu sudah tak tahu dimana otak-otak itu bersembunyi. “Dulu, para intelektual idealis, seperti Tan Malaka, Agus Salim, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, Hamka, dan sederetan nama besar lain, lahir di sini. Namun, kini tak ada lagi. Seakan rahim bumi Minang tidak mampu lagi melahirkan sosok-sosok idola itu di era kemerdekaan.
Sisa-sisa otak besar Minangkabau sekarang lebih memilih profesi, seperti dokter, pengusaha, pejabat negara dari pada menjadi pemikir-pejuang-petarung. Ungkapan “alam terkembang jadi guru” sudah kehilangan daya tariknya di alam kemerdekaan bangsa,” ujar kawan itu mengaku mengutip pernyataan Buya Syafii Maarif yang pernah terbit di Republika.
Ya, bagi kawan itu. Sumbar membutuhkan pemimpin yang petarung. Pemimpin yang mengerti maunya Sumatra Barat, yang mampu membuhul tali antara ranah dan rantau. Dua kekuatan yang sudah sejak dulu menjadi ikonnya Minangkabau. “Jikalau itu terbuhul kuat, Sumatra Barat Insyaallah akan bangkit lagi. Ya, kita butuh pemimpin petarung,” tegasnya.