MEMASUKI bulan Mei 2023, maka usia Perguruan Thawalib Padang Panjang 112 tahun sejak ditetapkan kelahirannya pada tahun 1911. Dan lazimnya bulan Mei merupakan bulan untuk mengenang berdirinya lembaga pendidikan Islam tertua di Sumatera Barat tersebut.
Tatkala mengingat usia dan perjalanan panjang Perguruan Thawalib saat ini, teringat apa yang pernah disampaikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2004-2009 dan 2014-2019, Bapak Jusuf Kalla ketika memberikan pidato dalam acara Ulang Tahun ke 77 Provinsi Sumatera Barat pada 1 Oktober 2022 lalu.
Berikut diantara poin pidato Bapak Jusuf Kala : ““Dulu orang belajar agama ke Thawalib Padang Panjang. Namun saat ini orang ke Padang Panjang untuk makan sate. Pemuda Minang malah belajar agama ke Gontor dan Pulau Jawa. Selain itu, penceramah Minang tak tampak lagi, malah orang Bugis yang banyak….” (Antara, 1/10/2022).
Menurut Jusuf Kalla, agar ada upaya memajukan kembali tingatkan pengetahuan keagamaan dan mampu kembalikan marwah orang Minangkabau dalam urusan agama Islam. Ada suatu degradasi dari sisi pendidikan keagamaan yang perlu diperbaiki. Dan ini harus menjadi perhatian.
Apa yang disampaikan Bapak Jusuf Kalla ada benarnya. Tentang banyaknya orang belajar ke Gontor termasuk dari Sumatera Barat adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkuri.
Dalam beberapa kali kesempatan penulis berkunjung dan berdiskusi dengan pengelola Pondok Modern Darussalam Gontor, terlihat selain jumlah pesantrennya yang banyak, juga jumlah santrinya mencapai puluhan ribu.
Khusus mengenai Pesantren Gontor ada yang menarik. Salah seorang pendirinya yakni Kiyai Imam Zarkasyi pada tahun 1930 an belajar di Thawalib Padang Panjang. Pesantren Gontor berkembang dan maju setelah Kiyai Imam Zarkasyi pulang dari belajar tersebut.
Apa yang disampaikan Bapak Jusuf Kalla dengan memberikan contoh tentang Thawalib Padang Panjang tentu ada benarnya. Sejak Thawalib berdiri yang dimulai dengan pengajian surau di Jembatan Besi tahun 1898 oleh Syekh Abdullah Ahmad, kemudian pengelolaannya diteruskan oleh Syekh Daud Rasjidi dan Syekh Abdul Latief Rajidi dan Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), begitu banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai Malaysia, Siam yang datang belajar ke Padang Panjang.
Di bawah asuhan Syekh Abdul Karim Amrullah yang memimpin Thawalib tahun 1911, pengajian surau Jembatan Besi bertambah maju. Pelajaran kitab-kitab berbahasa Arab semakin meningkat, para penuntut ilmu agama bertambah banyak berdatangan dari sekeliling Minangkabau dan juga dari daerah-daerah lain, seperti dari Tapanuli, Aceh, Bengkulu/Bengkulen, Malaysia, Siam dan daera lainnya.
Dalam beberapa tahun saja, surau Jembatan Besi sudah menjadi pusat pengajian besar. Nama Syekh Abdul Karim Amrullah semakin harum dan semakin tersebar luas, baik sekitar wilayah Minangkabau, maupun di luarnya. Surau Jembatan Besi yang dipimpinnya menjadi pusat bagi segenap lapisan masyarakat yang ingin menuntut ilmu agama Islam.
Potret Thawalib pada waktu itu juga alami oleh Buya Hamka yang masuk Thawalib tahun 1918. Beliau mengikuti pendidikan dengan keadaan di Surau Jembatan Besi semakin ramai dan terpandang. Ia bersekolah di tempat ayahnya sebagai pimpinan pengajian surau yang didatangi berbagai kalangan dari berbagai daerah.
Kondisi yang sama pada kepemimpinan Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim yang memimpin Thawalib setelah Syekh Abdul Karim Amrullah pada tahun 1926. Dimasa tersebut orang yang datang belajar dari berbagai daerah. Termasuk mereka yang datang adalah Kiyai Imam Zarkasyi salah seorang pendiri Pesantren Gontor dan Prof. Ali Hasjmy mantan Gubernur Aceh.
Kembali Ke Khittah
Dalam perjalanan Thawalib Padang Panjang setelah Buya Mawardi Muhammad wafat 30 Desember 1994, terjadi penurunan terhadap jumlah santri terjadi bila dibandingkan sewaktu Thawalib dipimpin oleh Buya Mawardi Muhammad. Penurunan tersebut tidak terlepas kondisi internal Thawalib sendiri yang terjadi dinamika yang cukup lama . Dinamika internal tersebut bertahun tahun terjadi dan dengan sendirinya berdampak kepada animo orang untuk datang belajar.
Menyikapi kondisi semacam itu, kepengurusan Yayasan Thawalib sejak tahun 2020 bertekad untuk kembali ke khittah Thawalib. Khittah yang dimaksud adalah bagaimana mengembalikan sistim pendidikan di Thawalib seperti pendidikan yang dijalankan di masa masa dulu , diantaranya pengajaran terhadap kitab kitab begitu kuat dan ber tafaqquh fiddien.
Komitmen untuk kembali ke khittah tersebut juga ditetapkan dalam peraturan Yayasan Thawalib Nomor 12 tahun 2020 tentang Khittah Pendidikan Perguruan Thawalib.
Dalam aturan tersebut ditetapkan bahwa tujuan strategik Thawalib Padang Panjang untuk menghasilkan santri yang berkualifikasi sebagai berikut: Pertama, berakhlak mulia, berkualitas, dan mandiri, serta beramal menuju terwujudnya masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT. Kedua, memajukan dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman klasik dan modern untuk mewujudkan kader-kader ulama yang cendekia. Ketiga, melakukan inovasi dan pengembangan sekolah agar menjadi tempat yang nyaman untuk belajar dan mengajar. Keempat, mengaktifkan peran santri dan guru serta civitas akademika dengan melakukan pencerahan (dakwah Islamiyah), dalam rangka pengabdian masyarakat dan pengembangan lingkungan yang agamis.
Jadi, upaya pembenahan terhadap Thawalib dilakukan dengan diawali keinginan kuat para pengelola Thawalib untuk kembali ke khittahnya. Dibarengi dengan pembenahan dalam berbagai aspek pendidikan yang semuanya bermuara terhadap khittah pendidikan Perguruan Thawalib yang telah ditetapkan tersebut.
Upaya pembenahan juga dilakukan dalam aspek non pendidikan. Misalnya dalam tata kelola keuangan Yayasan Thawalib diterapkan prinsip akuntabel, transparan dan amanah. Yakni keuangan dilakukan proses audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) setiap tahun dan hasil audit tersebut dipublikasikan di media massa yakni d surat kabar Harian Haluan dan surat kabar Padang Ekspres.
Pembenahan terhadap sarana prasarana juga dilakukan. Saat ini tengah diselesaikan pembangunan gedung asrama, pembangunan gedung sekolah dan sarana lainnya. Tujuannya atas pembenahan ini agar layanan sarana dan prasarana menunjang terhadap layanan pendidikan bagi santri yang belajar di Thawalib Padang Panjang.
Seperti yang disampaikan Bapak Jusuf Kalla, perlu dilakukan perbaikan atas terjadinya degradasi sisi pendidikan keagamaan, maka Yayasan Thawalib memiliki komitmen dan keinginan atas pembenahan, perbaikan terhadap tata kelola Perguruan Thawalib Padang Panjang.
Upaya tersebut tentu memerlukan proses dan waktu. Yang jelas keinginan kembali ke khittah adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan, agar Thawalib Padang Panjang dapat kembali seperti dulu, menjadi tempat banyak orang dari berbagai daerah datang belajar agama Islam.
Harapan kita dengan usia Thawalib Padang Panjang 112 tahun, bukan saja orang datang ke Padang Panjang untuk makan sate, melainkan juga tetap datang untuk belajar agama Islam ke Thawalib sebagaimana terjadi pada era para pendiri Thawalib mulai dari Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Abdul Karim Amrullah, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Buya Datuk Palimo Kayo, Buya Zainal Abidin Ahmad dan Buya Mawardi Muhammad.***