Hasrat Berkuasa dan Moral Politik

REVDI IWAN SYAHPUTRA - WARTAWAN UTAMA

HARIANHALUAN.ID – Ini diklaim sudah tahun politik. Benar. Sebab agenda politik nasional sudah ditabuh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 telah resmi ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022. 

Selanjutnya dalam penyelenggaraan Pemilu, Penyelenggara Pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien. Ini, secara nomenklaturnya. Dan, prosesnya hingga saat ini terus berjalan. 

Bicara soal politik, memang tak akan pernah kering. Dia asik dan mengasikan bagi mereka yang senang berpolitik praktis. Kendati demikian, dalam politik itu dibutuhkan etika dan moral. 

Secara teks, moral politik akan berpengaruh terhadap situasi fundamen sebuah bangsa. Politik bukan sekadar mencapai kekuasaan, tetapi memiliki tujuan dan cara yang baik. Di negara kita, cara berpolitik kelompok oposisi yang paling buruk ditunjukkan dalam kontestasi politik Pilpres 2019 yang oleh sejumlah media massa disebut disebut sebagai Pilpres terpanas sepanjang sejarah. Namun, itu dulu. Syukurnya, playing victim yang dilakukan oleh sejumlah politisi karbitan saat itu, kini sudah tak ada lagi. Semua bersatu dalam bingkai kebangsaan. 

Kendati demikian, kita tak ingin aroma 2019 itu terjadi lagi di 2024, walau arah-arah ke sana sudah sedikit terbaca. Hanya saja tak terlalu keras. 

Soal politik yang dianut Indonesia adalah demokrasi. Trias Politika adalah konsep pemisahan kekuasaan. Di Indonesia, konsep ini diterapkan dengan pemisahan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. 

Trias Politika merupakan konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Trias Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang.

Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.

Di Indonesia, tahun 2023 dan 2024 adalah tahunnya politik, evorianya saat ini mulai terasa. Pasca diloloskannya 17 Partai Politik, praktis suhu perpolitikan Indonesia makin panas. KPU, sebagai penyelenggara pun diekspektasi harus kerja optimal.

Aroma panas itu pun terus menggelinding ke Sumatera Barat. Provinsi yang tahun 2024  akan menyelenggarakan beberapa pemilihan kepala daerah dan Gubernur. Namun, sebelum pilkada, mesin partai sudah melakukan pemanasan partai politiknya. Sejumlah partai besar pun pasang target menang di setiap Pileg dan Pilkada. Tak ada yang pasang target kalah.

Soal hasrat  kekuasaan yang dikatakan Montesquieu. Legislatif adalah bagian dari kekuasaan itu. Menjelang pesta demokrasi 2024 mendatang, KPU Sumbar telah membuka pendaftaran bakal calon legislatif (Bacaleg). Bacaleg yang bakal diterima itu baik Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPR RI dan DPRD Sumbar. 

Nah, bagi Partai Politik sendiri tidaklah gampang menyusun daftar calon yang akan diusung mereka. Ini menyangkut sejauh mana ketokohan, ketakahan dan kemampuan individu si calon yang akan diusung. Bahkan, partai politik pun harus melihat keluar dan membuka lowongan bagi calon legislatif. Tujuannya, ya itu tadi, calon yang representatif.

Partai yang dinilai bagus pun kebanjiran calon. Tak peduli apapun profesinya, yang penting daftar dulu. Masyarakat pun dapat dipastikan akan bingung “Ini orang ini, dulunya dimana, kok tiba-tiba nyaleg” nah kata-kata ini bakal jamak terdengar. 

Dipikirnya, enak dan gampang jadi wakil rakyat itu. Enak sih, kalau hanya datang, duduk, dengar, teken dan terima. Tapi, yakinlah masyarakat tak akan gampang lagi tertipu dengan itu. Makanya, yakinkan dirimu jika ingin maju, cocok nggak, pas ngga, bisa ngga menjadi penyambung lidah rakyat. 

Jika rasanya tidak mampu, lebih baik, urungkan niatmu bung. Jangan paksakan diri hanya berharap dapat honor besar sebagai wakil rakyat. Kalau ini yang ada di pikiran, maka inilah awal dari kemelorotan trias politika yang diusung Montesquieu. Kekuasaan hanya sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi. Kalau ini yang tergerak, maka lebih baik urungkan niat. “Ini Ranah Minang Bung!” (*)

Exit mobile version