PPDB Telah Tiba

OLEH : Yefri Heriani, Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatera Barat

Yefri Heriani

Berefleksi untuk mengakhiri bulan Mei 2023, mengingatkan saya pada satu kejadian. Sekitar jam 10-an, pada akhir tahun 2022, seorang asisten yang bertugas pada bidang penerimaan dan verifikasi laporan, menemui saya. Dia mengabarkan ada laporan yang perlu tindak lanjut segera. Ombudsman RI menyebutnya Respon Cepat Ombudsman (RCO). Setelah dia menjelaskan substansi laporan dan urgensi, kami putuskan, laporan tersebut harus segera ditindaklanjuti melalui RCO. Dia pun menyampaikan bahwa pelapornya belum pergi, masih menunggu apakah anaknya dapat ujian siang itu.

Saya berkesempatan menemui pelapor yang sedang duduk di kursi merah, di ruang tunggu kantor perwakilan Ombudsman Provinsi Sumbar. Dia perempuan berbadan kecil. Saya melihat, matanya agak merah dan sembab. Dia langsung menceritakan bahwa anaknya siang itu harus ujian. Namun tidak mendapatkan nomor ujian, karena tidak membayar uang baju seragam. Penghasilan keluarga mereka saat itu, tak memungkinkan untuk mereka memprioritaskan pembelian baju sekolah anaknya. Dia ceritakan bagaimana keluarga harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia melanjutkan ceritanya dan mengatakan, “Masih ada lungsuran pakaian kakaknya yang baru tamat dari sekolah yang sama, dapat digunakan”.  Dia telah menyampaikan kepada guru di sekolah, bahwa dia tidak sanggup membeli pakaian seragam baru untuk anaknya. Namun sekolah tak menerima, karena baju seragam untuk setiap peserta didik telah disiapkan, sehingga ada kewajiban untuk beli.

Tentu ada kasus yang serupa terjadi di tempat lain. Tidak hanya soal baju, termasuk terkait penjualan buku di sekolah dan juga berbagai bentuk sumbangan (sumbangan komite termasuk sumbangan untuk pelaksanaan kegiatan perpisahan). Yang kemudian dikaitkan dengan proses akademik peserta didik.

Selalu Lima Terbanyak. Dari catatan tahunan kantor Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatera Barat, tiga tahun terakhir, sejak  tahun 2020 hingga tahun 2022, terlihat bahwa substansi pendidikan selalu masukan dalam lima substansi pelaporan terbanyak. Kita dapat lihat dari 265 laporan masyarakat yang diadukan pada tahun 2020, ada 37 laporan dengan substansi pendidikan. Jumlah substansi yang diidentifikasi dilaporkan masyarakat pada tahun tersebut ada 33 substansi. Substansi Pendidikan berada pada peringkat pertama dari lima terbanyak laporan yang dilaporkan pada tahun tersebut.

Sementara pada tahun 2021 pengaduan terkait substansi pendidikan sebanyak 33 laporan. Pada tahun ini ada 26 substansi yang dilaporkan. Total laporan yang disampaikan masyarakat pada tahun tersebut sebanyak 268 laporan.  Pada tahun 2021 ini laporan terkait pemberhentian perangkat nagari melonjak drastis. Termasuk pengaduan terkait substansi agraria serta hak sipil politik. Sehingga pada tahun tersebut, substansi Pendidikan berada pada peringkat ke-empat dari lima besar substansi yang dilaporkan. Pada tahun 2022, dari 323 total pengaduan yang masuk ke perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatera Barat, 58 buah pengaduannya adalah dengan substansi. Pada tahun ini ada  27 substansi yang ditemukan menjadi pengaduan. Substansi Pendidikan menduduki peringkat pertama dari lima substansi terbanyak yang diadukan.

Tampak pula dari catahu tahun 2022 ini bahwa maladministrasi terbanyak dari laporan dengan substansi pendidikan tersebut adalah tidak memberikan pelayanan, penyimpangan prosedur dan tindakan tak patut. Menerima imbalan masih ditemukan sebagai bentuk maladministrasi yang masih terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan pada bidang pendidikan. Bahkan masih ditemukan laporan yang berulang, misalnya terkait pengumpulan sumbangan komite dari orang tua peserta didik, yang pengelolaannya masih dihubungkan dengan apa yang dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Peserta yang belum membayar sumbangan komite tak mendapatkan nomor ujian, tak bisa mendapatkan surat keterangan tamat bahkan ijazah.

Amanat UUD 1945. Pendidikan adalah untuk semua (education for all). Semua diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. Tak ada pembedaan, baik dikarenakan status sosial,  budaya, suku, agama, kondisi fisik bahkan mental serta lainnya. Seperti yang tertuang dalam pasal 31 ayat 1, Undang Undang Dasar  1945 yang menyatakan, “Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan”. Pasal 28C Ayat 1 pun menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan Pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia”.   Kembali kepada pasal 31, tepatnya Ayat 2, diterangkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pemerintah wajib membiayai Pendidikan. Karenanya, masih dalam pasal yang sama, pada ayat 4 dinyatakan bahwa, “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sayangnya, hingga akhir tahun 2022 lalu, masih diidentifikasi beberapa kabupaten di Sumatera Barat, yang belum memiliki Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Bagaimana kabupaten/kota memastikan kualitas pelayanan di sektor Pendidikan, bila komitmen untuk menghadirkan kualitas Pendidikan belum diatur dalam kebijakan di daerahnya? Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah. Meski, sekitar seminggu yang lalu, kakanwil kementerian hukum dan HAM provinsi Sumatera Barat telah memberikan kabar gembira. Untuk beberapa kabupaten tersebut sedang disiapkan Perda Penyelenggaraan Pendidikannya.

Ruang Penggalangan Dana. Meskipun telah ada jaminan untuk memberikan prioritas anggaran negara minimal 20 persen untuk penyelenggaraan Pendidikan, ternyata dalam pelaksanaannya tak mudah dan tak mencukupi. Cita-cita untuk meningkatkan kualitas Pendidikan tetap mendapatkan tantangan. Pemerintah pun memberikan ruang agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam meningkatkan kualitas Pendidikan. Maka diberilah tugas bagi komite sekolah untuk melakukan penggalangan dana.  Pasal 3 huruf (b), pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah menyatakan bahwa komite sekolah bertugas untuk melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif. Rupanya, pada pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya itu berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Karena ini lah, sumbangan menjadi primadona dalam penggalangan dana. Namun tampak kurang memiliki upaya yang kreatif dan inovatif, khususnya terkait siapa yang menjadi target pengumpulan sumbangan ini. Masih menyasar pada orang tua peserta didik. Dan karena ini lah hingga saat ini laporan berulang diadukan oleh masyarakat baik kepada penyelenggara langsung termasuk inspektorat, ke kanal SP4N Lapor! dan Ombudsman RI. Padahal sumbangan masih dapat dikumpulkan dari berbagai sumber lainnya yang tidak melanggaran aturan kebijakan.

 Larangan Menjual Pakaian Seragam dan Buku di Sekolah. Barangkali karena keterbatasan sosialisasi yang dilakukan kepada penyelenggara pelayanan publik dalam rangka peningkatan kompetensi dan mungkin juga dikarenakan kealpaan (abai) penyelenggara terhadap pelaksanaan aturan yang ada, maka kerentanan masyarakat untuk dapat dirugikan dalam penyelenggaraan pelayanan publik (maladministrasi) terbuka luas. Demikian juga dalam sektor Pendidikan ini. Jika penyelenggara abai, tidak melakukan evaluasi dan pengawasan secara berkala dan enggan melakukan perbaikan maka potensi maladministrasi itu di hadapan mata dan terus berulang terjadinya. Ada peraturan tentang pakaian seragam sekolah, yang diantaranya terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada Pasal 12 Peraturan Menteri ini dinyatakan bahwa pengadaan pakaian seragam Sekolah menjadi tanggung jawab orang tua atau wali Peserta Didik. Selanjutnya, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, Sekolah, dan masyarakat dapat membantu pengadaan pakaian seragam Sekolah dan pakaian adat bagi Peserta Didik dengan memprioritaskan Peserta Didik yang kurang mampu secara ekonomi.

Kemudian Pasal 13 menegaskan bahwa dalam pengadaan pakaian seragam Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru pada setiap kenaikan kelas dan/atau penerimaan Peserta Didik baru. Pada Pasal 198, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, semakin ditegaskan  bahwa Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang: a) menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; b) memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan; c) mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung; d) mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung; dan/atau e) melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.

Terus Bergerak Untuk Perbaikan. Salah satu pernyataan penting yang harus ada dalam maklumat pelayanan publik adalah penyelenggara siap melakukan perbaikan secara terus menerus. Akankah berbagai laporan yang muncul dari setiap tahun ajaran akan kembali terjadi pada tahun ajaran 2023/2024 ini? Semoga saja tidak. Karena penyelenggara sejak dini telah menyiapkan aturan pelaksanaan yang jelas, yang dipahami oleh pelaksanaanya dan diinformasikan kepada masyarakat. Pembina pelayanan publik (Gubernur, bupati dan walikota) dan penanggung jawab pelayanan publik menguatkan komitmennya untuk menjaga integritas pelaksanaan pelayanan publik pada bidang pendidikan ini. Khusus untuk pengumpulan sumbangan komite, Pembina dan penanggung jawab pelayanan publik dapat memastikan pengumpulannya tak masuk ke ruang kelas dimana proses Pendidikan berlangsung. Biar saja pengumpulan sumbangan tersebut dikelola oleh komite bersama orang tua/wali peserta didik. Apalagi hingga saat ini  orang tua/ wali masih menjadi sasaran utama yang pemberi sumbangan.

Dan tak perlu pula para guru, kepala sekolah bekerja keras untuk menjual baju, menyiapkan tukang jahit atau tempat membeli pakaian sekolah. Juga tak usah pula ikut-ikutan menjual buku. Biarkan orang tua/wali yang memilih tempatnya sesuai keinginan anaknya. Atau ingin menggunakan pakaian lunsuran yang masih layak untuk dipakai. Guru bisa lebih fokus untuk memastikan pembelajaran yang akan berlangsung bagi peserta didik semakin berkualitas dan memberikan keberdayaan bagi peserta didik untuk menghadapi kehidupannya pada masa yang akan datang. Pastikan mekanisme pengelolaan pengaduan pada setiap satuan kerja (satker)/unit layanan tersedia, dapat diakses dan ditanggungjawabi oleh pelaksana yang kompeten. Tentu khusus pelaksanaan PPDB penanganan pengaduan masyarakat harus dilakukan secara cepat, tidak berbelit-belit. Bila penanganan pengaduan oleh satker dan unit layanan belum memberikan kepastian kepada pelapor, maka pelapor dapat mengadu kepada Ombudsman RI sebagai Lembaga negara yang memiliki wewenang dalam pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik. Mari terus bergerak untuk melakukan perubahan agar sistem Pendidikan lebih baik. (*)

Exit mobile version