Oleh: Akhyar Fuadi
(Pimpinan/Mudir PPTI At-Taqwa Canduang)
Bangga dalam KBBI diartikan sebagai besar hati; merasa gagah (karena mempunyai keunggulan). Dalam literatur tasawuf, sikap besar hati dan merasa gagah yang niscaya melahirkan ketakjuban atas diri sendiri disebut ‘ujb. Dan ia merupakan satu jenis dari banyak jenis dosa besar.
Berangkat dari perspektif di atas, maka ungkapan-ungkapan seperti “bangga menjadi diri sendiri” atau menjadi apa pun, bangga sebagai pengguna atau pemilik apa pun, merupakan premis yang sedari awal bermasalah.
Ungkapan “bangga menjadi diri sendiri” menyiratkan dua hal: ketakjuban dan kecemasan. kemampuan diri mengatasi persoalan-persoalan diri dan hidup merupakan perkara normal yang memang semestinya dilakoni oleh setiap orang, dan untuk kemampuan itu kita kerap tercengang dan salut (terhadap diri sendiri), kerap besar hati dan merasa heroik. Kita bangga karenanya. Hati kita menggelembung begitu rupa atas pencapaian-pencapaian yang kita raih, untuk urusan-urusan yang kita bereskan. Di titik ini kita melihat diri kita berkemampuan, dan hebat.
Masalah apa yang ditimbulkan oleh kebanggan seperti itu?
Pada saat hati buncah oleh kekaguman terhadap diri sendiri, dan kita kerap tak mampu mengeremnya, kebanggaan itu menjalar terus, mengular ke mana-mana, ia jadi sulit dikendalikan. Kita jadi rentan lupa dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan menentukan keberhasilan; keberadaan orang lain, momentum yang tepat, tangan Tuhan (bagi yang beragama), dan segala faktor pendukung lainnya. Otak kita membuat penalaran dan asumsi-asumsi pembenar atas itu, ia mencarikan data-data pendukung. Ujung-ujungnya, orang yang kesulitan menangani kebanggaan overload ini mudah jadi megalomaniak; egois, memandang tinggi diri sendiri, dan pada gilirannya menganggap orang lain kecil dan tidak ada apa-apanya dibanding dia.