Memanfaatkan Media Sosial sebagai ‘Fighter’ Bagi PR

Media Sosial

Charlie Doma Putra (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Padang)

HARIANHALUAN.ID – Di era digital ini, media sosial bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia dapat menjadi alat propaganda yang berbahaya, menyebarkan informasi yang salah dan memperburuk situasi krisis. Di sisi lain, media sosial juga bisa menjadi pahlawan yang siap bertarung, membantu organisasi melewati masa-masa sulit dengan kekuatan digitalnya.

Pertama, media sosial dapat menjadi alat komunikasi yang ampuh untuk menyampaikan informasi yang akurat dan terpercaya kepada publik. Di tengah kebingungan dan kepanikan yang melanda saat krisis, organisasi dapat menggunakan medsos untuk menenangkan publik dengan fakta dan perkembangan terkini. Hal itu dapat membantu membangun kepercayaan publik terhadap organisasi dan mencegah penyebaran informasi yang salah.

Kedua, medsos dapat menjadi wadah untuk membangun hubungan dan empati dengan publik. Melalui medsos, suatu organisasi dapat menunjukkan kepedulian dan komitmennya dalam menyelesaikan krisis. Konten yang menyentuh hati, seperti kisah inspiratif korban krisis atau aksi nyata organisasi dalam membantu masyarakat dapat membangun empati dan dukungan publik. Ketiga,  medsos dapat menjadi platform untuk menggalang partisipasi dan bantuan. Organisasi dapat memanfaatkan medsos untuk menggalang dana, mencari relawan, dan memobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis. Kekuatan kolektif netizen dapat menjadi kekuatan besar dalam membantu organisasi melewati masa-masa sulit.

Keempat, medsos dapat menjadi alat untuk memantau situasi dan perkembangan krisis secara real-time. Dengan memantau percakapan online dan trending topik, organisasi dapat mengidentifikasi potensi masalah baru, memahami sentimen publik dan mengantisipasi dampak krisis. Hal ini dapat membantu organisasi mengambil langkah proaktif dan strategi yang tepat dalam menyelesaikan krisis.

Pada sisi lain, citra bagaikan cerminan diri bagi sebuah organisasi atau perusahaan. Ia merepresentasikan identitas, nilai-nilai, dan reputasi di mata publik. Citra yang baik dapat menjadi aset berharga, membuka peluang baru, dan mengantarkan organisasi menuju kesuksesan. Citra yang buruk dapat mencoreng reputasi, menggerus kepercayaan publik, dan bahkan berujung pada kegagalan. Sejarah mencatat, banyak perusahaan yang bangkrut akibat citra yang buruk, terjerat skandal, atau gagal menangani krisis dengan tepat.

Banyak pula contoh perusahaan yang berhasil bangkit dari keterpurukan citra. Dengan strategi pemulihan citra yang tepat, seperti mengakui kesalahan, menunjukkan komitmen perbaikan, dan membangun kembali kepercayaan publik, perusahaan-perusahaan mampu bangkit dan kembali meraih kesuksesan. Kasali (2003) menekankan bahwa citra perusahaan yang baik bukan hanya bertujuan untuk kelangsungan hidup bisnis, tetapi juga untuk mendorong kreativitas dan membawa manfaat yang lebih signifikan bagi masyarakat. Sebuah organisasi dengan citra positif memiliki peluang lebih besar untuk menarik talenta terbaik, menjalin kerjasama yang strategis, dan berkontribusi positif bagi lingkungannya. Demi menjaga citra baik instansi, humas memiliki wewenang untuk monitoring dan evaluasi. Hal ini berguna agar perusahaan tidak rusak reputasinya oleh publik. Dengan adanya humas diharapkan dapat meluruskan isu yang berkembang di masyarakat.

Menurut Onong Uchjana Effendy (1983), strategi bukan sekadar peta jalan yang menunjukkan arah tujuan. Ia adalah perpaduan antara perencanaan dan manajemen yang matang, dilengkapi dengan panduan taktik operasional yang jelas dan terukur. Analogikan strategi sebagai sebuah perjalanan panjang. Peta jalan memang penting untuk menunjukkan arah, namun tanpa panduan taktik yang detail, perjalanan tersebut bisa menjadi kacau dan tak terarah. Strategi yang efektif harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial seperti bagaimana cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan, langkah-langkah operasional apa yang harus diambil, sumber daya apa yang dibutuhkan, bagaimana mengukur keberhasilan setiap langkah dan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi rintangan yang mungkin muncul.

Dengan strategi yang komprehensif, organisasi dapat melangkah dengan mantap dan terarah menuju tujuannya. Taktik operasional yang jelas menjadi panduan bagi setiap individu dalam organisasi untuk menjalankan perannya secara efektif. Lebih dari itu, strategi yang baik juga harus fleksibel dan adaptif. Situasi dan kondisi dapat berubah dengan cepat, dan strategi pun harus mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Organisasi harus terus memantau kemajuan dan mengevaluasi efektivitas strategi serta melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk memastikan keberhasilannya.

Berdasarkan teori Manajemen Berdasarkan Tujuan (MBO) dari Peter Drucker (Sedarmayanti, 2011), peran humas tidak hanya sebatas penyebar informasi dan pembentuk citra positif. Humas dituntut untuk memiliki sifat kehumasan yang mumpuni, menjadi mitra strategis, dan berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.Sifat kehumasan yang esensial bagi humas modern meliputi komunikasi yang efektif, pemahaman bisnis yang mendalam, keterampilan interpersonal yang kuat, kreativitas dan inovasi serta keterampilan analisis dan pemecahan masalah. Jadi, dalam rangka mencegah krisis citra, humas melakukan beberapa tindakan.

Salah satunya adalah memberikan perhatian lebih pada pengguna yang melakukan komentar negatif. Selanjutnya, humas bekerja sama dengan pihak manajemen atau atasan perusahaan atau instansi untuk menerjemahkan instruksi dari petinggi instansi kepada publik. Proses tersebut melibatkan berbagai pertimbangan dan analisis. Selain itu, humas juga melakukan tindakan pencegahan krisis yang sesuai dengan etika dan teori kehumasan. (Bukit, 2017)

Singkatnya pada era digital ini, organisasi dihadapkan pada dua sisi mata pisau media sosial, yaitu potensi propaganda yang berbahaya dan peluang kekuatan digital yang luar biasa. Untuk itu, humas sebagai garda terdepan dalam menjaga citra organisasi harus memiliki strategi yang komprehensif sehingga kita dapat mempersiapkan media sosial sebagai ‘sang Fighter’ dengan berbagai upaya dalam bertarung menghadapi krisis.

Beberapa taktik dan strategi juga harus disiapkan, yaitu medsos sebagai alat komunikasi yang efektif, citra merupakan cerminan identitas dan kunci keberhasilan, sikap kehumasan yang dipadupadankan dengan keahlian kehumasan yang mumpuni berlandaskan etika dan teori kehumasan serta terakhir, pencegahan krisis citra dengan memberi perhatian lebih dan bekerja sama dengan manajemen serta analisa yang mendalam.

Humas yang strategis dan adaptif dengan era digital menjadi kunci bagi organisasi untuk menavigasi krisis citra, membangun reputasi positif, dan mencapai tujuannya. Dengan memanfaatkan kekuatan media sosial secara efektif, menjalin hubungan yang kuat dengan publik, dan menerapkan strategi kehumasan yang tepat, organisasi dapat meraih kesuksesan dan berkontribusi positif bagi masyarakat. (*)

Referensi :

Bukit, B., Malusa, T., & Rahmat, A. (2017). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Teori, Dimensi Pengukuran dan Implementasi dalam Organisasi. Zahir Publishing. Yogyakarta

Effendy, O, U. (1983). Human Relations dan Public Relations dalam Management. Alumni. Bandung

Kasali, R. (2003). Manajemen Public Relations: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. PT. Pusaka Utama Grafiti. Jakarta

Sedarmayanti, A. (2011). Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan MAnajemen Pegawai Negeri Sipil (Cetakan Kelima). PT Refika Aditama. Bandung.

Oleh: Charlie Doma Putra (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Padang)

Exit mobile version