Nampaknya impian kalangan pendidikan tinggi Indonesia untuk dapat sejajar dan setara dengan pendidikan tinggi di banyak negara lain di dunia harus kembali tertahan belakangan ini. Masalah yang mengemuka dan menjadikan publik pesimis dengan kondisi pendidikan tinggi di negara ini adalah tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan oleh banyak otoritas kampus-kampus ternama.
Tidak sedikit yang kemudian menjadi korban dari kebijakan ini, termasuk calon mahasiswa baru yang dengan sangat terpaksa mengundurkan diri karena besaran UKT yang jauh melampaui kemampuan ekonominya. Mengundurkan diri sekaligus terpaksa mengubur mimpi untuk dapat mengecap pendidikan tingkat tinggi yang diprogram untuk dapat mempertajam kemampuan dan keterampilan individu sesuai dengan bakat dan minatnya tersebut.
Cukup disayangkan, di tengah simpati publik yang mengecam kebijakan keuangan perguruan tinggi Indonesia tersebut, beberapa tokoh pendidikan justru mengeluarkan pernyataan yang kontradiktif. Semisal apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi yang menyatakan bahwa program pendidikan tinggi yang disediakan oleh perguruan tinggi dan universitas bersifat tersier.
Dengan kata lain, pendidikan tinggi tidak dianggap sepenting pendidikan dasar dan menengah yang didapatkan dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas yang penyelenggaraannya lebih terakses oleh masyarakat karena menjadi kewajiban dari pemerintah.
Di lain pihak, pernyataan ini juga bertentangan dengan kenyataan di lapangan bahwa syarat untuk melamar pekerjaan yang umum adalah memiliki ijazah setidaknya strata 1 (sarjana) yang justru hanya bisa didapatkan dari perguruan tinggi. Amat jarang dalam kolom lowongan kerja yang meminta calon pelamarnya cukup berpendidikan SD, SMP, atau SMA.
Pernyataan sikap pejabat eselon Dikti tersebut seakan-akan semakin menegaskan lepas tangannya pemerintah terhadap pengelolaan perguruan tinggi setelah satu dasawarsa ini menjalankan skema perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Meskipun secara teori skema ini memberikan keleluasaan bagi banyak perguruan tinggi negeri untuk dapat secara mandiri mengelola keuangannya, akan tetapi dalam pelaksanaannya malah banyak yang tidak kreatif dalam mencari sumber pemasukan finansial yang krusial dalam menggerakkan roda perekonomian kampus.