Dari ketidakkreatifan ini, maka salah satu akibatnya justru diderita oleh mahasiswa yang seakan-akan “diperas” melalui pengumpulan biaya perkuliahan atau UKT tadi. Tidak banyak perguruan tinggi yang mampu menggerakkan sektor ekonomi lain yang dimilikinya, sehingga mahasiswa yang sebenarnya adalah klien dalam proses belajar mengajar tersebut dijadikan objek penderitanya. Bahkan pada beberapa kampus yang memberlakukan kenaikan UKT, terdapat kesan bahwa hal ini bersifat dipaksakan dengan adanya upaya memberangus suara-suara protes dari mahasiswa yang notabene terpengaruh langsung oleh hal tersebut.
Penegasan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier juga seakan-akan memberikan kesan bahwa ia hanya bisa didapatkan oleh mereka yang memiliki ekonomi serba berkecukupan. Sementara mereka yang jauh di bawah garis kemiskinan tidak pantas untuk bahkan sekadar memikirkan dapat menikmatinya.
Ini tentunya bertolak belakang dengan hakikat pendidikan tinggi yang diatur di dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2012 mengenai Pendidikan Tinggi di Indonesia, bahwa apa yang diselenggarakan oleh universitas dan perguruan tinggi tersebut seharusnya dapat diakses dan digunakan secara aktif oleh setiap anak bangsa dalam rangka mengembangkan potensi dirinya.
Status PTN-Berbadan Hukum sebuah perguruan tinggi juga membuat mereka sangat kaku dalam mengurus permasalahan yang mendera mahasiswa yang terdampak oleh (kenaikan) UKT. Selain dari pengenaan level dan tingkatan UKT yang pada banyak kasus salah sasaran (tidak sesuai dengan status ekonomi mahasiswa), upaya peninjauan ulang bagi mahasiswa salah tarif seringkali kurang mendapatkan tanggapan, walaupun sebenarnya ini adalah kewajiban kampus untuk memastikan antara status ekonomi dan besaran UKT mahasiswanya sesuai.
Kampus juga kurang fleksibel dalam meringankan pembayaran UKT, karena ujug-ujug mengurangi besaran UKT, tawaran yang diberikan hanya berupa pengangsuran pembayaran. Jumlah UKT yang dibayarkan tetap sama, tetapi dibayar beberapa kali, sehingga seringkali ketika pembayaran UKT semester lalu baru saja selesai, maka tagihan untuk UKT semester berikutnya telah menanti mahasiswa. Bayangkan bagaimana mahasiswa bisa fokus kepada materi perkuliahan, jika yang selalu dikhawatirkannya hanyalah masalah pembayaran uang kuliah tersebut.
Lebih parahnya lagi, bahkan kampus-kampus tertentu menjalin kerja sama dengan otoritas keuangan swasta untuk menyediakan pinjaman keuangan pada mahasiswa untuk dapat melunasi UKT ini, tetapi dengan konsekuensi pembayaran yang mirip dengan peminjaman para rentenir. Uang pokok pinjaman mahasiswa tersebut seringkali membengkak akibat bunga yang diterapkan, belum lagi para penagih hutang yang ditugaskan “memburu” mahasiswa yang berhutang ini seringkali bertingkah cukup intimidatif dan meresahkan. Sekali lagi, dalam kondisi seperti ini bagaimana pendidikan tinggi di negara ini dapat menjadi raihan mimpi bagi setiap anak bangsa? Lebih jauh lagi, bagaimana masa depan bangsa ini, jika dunia pendidikan tingginya sedemikian “barbar”?