Dengan menung yang panjang – sekitar 6000 tahun sebelum masehi (SM), ratusan menhir itu masih tegak berdiri, setia menatap matahari yang dipunggungi Gunung Sago. Gunung yang menjadi puncak tertinggi seujung pandang Maek.
Tatapan menhir yang kaku ke Gunung Sago, merupakan bentuk kepercayaan. Menganggap arwah leluhur bersarang di puncak tertinggi penglihatan. Dan Gunung Sago menjadi bagian dari kepercayaan Maek yang diduga dulunya ada peradaban Megalitikum (Zaman Batu Besar).
Begitulah Menhir Maek dipandang umum oleh orang-orang sampai sekarang ini. Tapi agaknya, bayang-bayang akan Menhir Maek masih dalam sekarung tanda tanya. Gugusan batu yang berdiam diri sejak “entah” itu masih menjadi misteri. Menhir dan Maek bak lengang dalam keramaian.
***
Antara tahun 1982 dan 1983, Menhir Maek baru disadari keberadaannya. Masyarakat setempat yang didampingi pakar sejarah dan arkeolog menggalinya. Dalam penggaliannya ditemukan tulang-belulang di setiap menhir, beberapa juga ditemukan kosong. Menhir pun diduga sebagai tanda pemakaman. Atau bagi masyarakat Maek, menhir itu lebih akrab disebut “Batu Mejan”.
Udu damai sangketo habih. Agar kampung tak menjadi malapetaka, masyarakat setempat menyelenggarakan Tulak Bala dengan mempersembahkan sapi hitam. Dan kini, Menhir Maek akhirnya terselamatkan dan terkelola. Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatra Barat mencatatkannya sebagai situs cagar budaya.
Sejauh jalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai, penetapan Menhir Maek sebagai cagar budaya tetap saja tak menyudahi persoalan. Menhir itu masih tegak dengan spekulasi-spekulasi dan pertanyaan-pertanyaan yang semakin menumpuk. Muaranya, benarkah Menhir Maek ini asal nenek moyang orang Minangkabau? Tapi, mungkinkah si Luhak Nan Bongsu ini yang menjadi asal-usul orang Minangkabau?
Pada sebuah seminar oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Minangkabau tahun 2015, yang mengaji persoalan Aksara Minangkabau, di sana pernah menyinggung Menhir Maek. Irwansyah Datuak Katumanggungan, selaku pembicara dalam seminar itu merasa ragu dengan Luhak Lima Puluh Kota yang ditambatkan sebagai si Luhak Bungsu.
Tambo Minangkabau menuliskan bahwa Minangkabau terdiri dari tiga luhak. Ada Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Pariangan menjadi pijak kaki pertama bagi orang-orang Minangkabau untuk menjajal wilayah baru. Mereka menyebar, meneruka, membuka lahan baru, dan memecah suku-suku untuk berkembang.
Luhak Tanah Datar disebut Luhak Nan Tuo. Luhak Agam si Luhak Tangah dan Luhak Lima Puluh Kota si Luhak Nan Bongsu. Ketiga luhak ini memiliki penyebarannya sendiri-sendiri.
Kembali lagi dalam konsep sejarah, dalam dugaan arkeolog, Menhir Maek diciri-cirikan sudah ada sejak 2000-6000 tahun SM. Kepercayaan animisme di zaman Megalitikum itu cukup tergambar jelas di Menhir Maek. Sebaliknya menhir di Luhak Tanah Datar – yang disebut sebagai Luhak Nan Tuo, corak sejarah dari menhir yang ditemukan sudah berunsur Islam. Sedangkan Islam di Minangkabau datang sebagai kepercayaan penutup.
Dalam bandingan itu, Irwansyah Datuak Katumanggungan menilai ini telah bias. Tambo sendiri memang bukan disebut sejarah murni, tapi tetap menjadi rujukan bagi masyarakat. Tambo wujudnya memang tak terlihat, tapi dapat dirasakan – begitu kata orang Minangkabau.
Menurut temuan sejarah, kebudayaan Minangkabau diperkirakan bermula sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa Melayu Muda masuk ke Ranah Minang membawa kebudayaan Perunggu. Pembaharuan bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalitikum.
Peninggalan zaman prasejarah berupa situs-situs menhir hanya ditemukan di sekitaran Luhak Lima Puluh Kota (Bukik Barisan, Suliki, Guguak, Payakumbuah, Akabiluru, Pangkalan Koto Baru, dan Kapur IX). Sebarannya berupa dolmen, teras berundak dan beberapa menhir. Di Koto Lamo ditemukan Batu Basurek, di Suliki ada batu sandaran niniak nan barampek, di Guguak dan Maek ditemukan banyak menhir.
Secara arkeologisnya, menhir merupakan bagian dari produk tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material kebudayaan. Pendirian menhir ini telah berlangsung sejak zaman Neolitikum yang awal kemunculannya hampir bersamaan dengan produk tradisi megalitik lainnya yang seangkatan, seperti dolmen, teras berundak, batu dakon, lumpang batu, batu tapak, dan lain-lain.
Penemuan rangka manusia di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, dan Belubus digolongkan sebagai ras Mongoloid, yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup sekitar 2000-3000 tahun lalu.
Menurut Kern dan Heine Geldern yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke bumi Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama dimulai pada masa Neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi yang digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu).
Sementara gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang kemudian digolongkan Melayu Muda (Deutro Melayu). Dan Soekmono (1973) mengatakan, pada zaman logam juga dibawa kebudayaan megalitik sebagai cabang kebudayaan Dongson (tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan Perunggu di Asia Tenggara).
Disimpulkan lagi, nenek moyang orang Minangkabau datang dari daratan Indo Cina yang mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian menelusuri Sungai Kampar (terbelah dua menjadi Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri) yang berhulu di Bukit Barisan.
Hulu Batang Kampar Kanan adalah Sungai Lolo (Pasaman). Batang Kampar Kanan bertemu dengan anak sungai Batang Kapur Nan Gadang, mengalir melalui Batu Bersurat dan selanjutnya bertemu dengan Batang Maek.
Batang Kampar Kiri bermata air dari Gunung Ngalau Tinggi, Gunung Solok Janjang, Gunung Paninjauan Nan Elok dan Gunung Mas di Lima Puluh Kota dengan nama Batang Sinamar. Dan pada banyak menhir yang ditemukan, Luhak Lima Puluh Kota menjadi saksi bisu gelombang kedatangan nenek moyang orang Minangkabau tersebut. Sehingga orang Melayu Kampar dari Riau dan orang Minangkabau sering terdengar saling merasa lebih dahulu menjadi nenek moyang.
Begitu pula dalam penelitian pakar bahasa dari Universitas Andalas Padang, Prof. Nadra (1999). Ia menyimpulkan dialek bahasa Minang yang konservatif justru ditemui di Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota. Hampir sekitar 50 persen dialeknya sumber dari bahasa Minang itu sendiri. Daerah Maek dihipotesiskan sebagai daerah pertama yang didiami oleh orang Minangkabau.
Saiful Guci, seorang tokoh yang menjadi sejarawan lokal Lima Puluh Kota, dalam tulisannya juga pernah meraba-raba keberadaan Menhir Maek. Katanya, bukti Maek telah memiliki peradaban nun jauh di lampau tidak hanya dideskripsikan dari adanya menhir saja. Maek telah diperkirakan ada sejak 300 tahun SM. Keberadaan zaman Megalitikum telah mencerminkan Maek dengan menhir dan geografis wilayah yang ditinggalinya.
Di zaman Batu Besar itu orang-orang hidup dengan pertanian yang sederhana dan berburu sebagai mata pencahariannya. Begitu pun Maek telah meninggalkan batu-batu sebagai produk material kebudayaan. Bentangan alamnya yang subur juga dialiri beberapa anak sungai dari Batang Maek.
Sentuhan Maek yang serba gantung itu setidaknya telah menduga Maek sebagai salah satu daerah yang telah memiliki peradaban yang terbilang maju dan menjadi cikal bakal tumbuhnya orang-orang Minangkabau.
Julukan Seribu Menhir mulai dari Situs Balai-balai Batu Koto Gadang, Situs Menhir Ronah, Situs Menhir Bawah Parit Koto Tinggi, Situs Ampang Gadang, Situs Aur Duri, Situs Sopan Godang dan situs lainnya, telah membingkai Menhir Maek sebagai daerah yang berperadaban tua.
Peradaban tampaknya telah berlalu lalang di Maek. Pengaruh motif hiasan pada menhir telah menunjukkan adanya berbagai aktivitas budaya. Sehingga motif-motifnya pun melahirkan berbagai pemaknaan dan gambaran. Seperti hiasan segitiga di menhir yang secara etnografi digambarkan sebagai jumlah suku di Maek.
Kemudian perkiraan datangnya bangsa Cina dan India. Motif bunga teratai digambarkan sebagai pengaruh kedatangan Cina untuk berdagang. Lalu India meninggalkan kata Mahat (sebuah daerah di India) untuk penamaan nagari di Maek ini. Selain mencari lada, gambir dan emas, India juga menyebarkan ajaran Hindu-Budha – seperti adanya usaha pembangunan dua candi di Ampang Gadang dan Sopan Tanah.
Ada pula dalam buku Rusli Amran tentang Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang yang mencatatkan kedatangan Thomas Dias pada tahun 1683 ke sebuah istana yang berada di pinggir Batang Sinamar, yang diperkirakan itu Lima Puluh Kota.
Beberapa catatan sejarah yang menggantung, rasanya dapat dikatakan menhir dan Maek telah memulai tualangnya untuk mencari kepastian. Namun pencatatan yang setengah-setengah, hingga kini Maek dalam bayang yang masih bingung.
Kait Berkait Tiga Legenda Maek
Ada tiga cerita rakyat tentang Maek. Pun menurut asumsi Saiful Guci, ketiga legenda memiliki kaitan dengan bangunan megalitik di Maek. Pertama tentang batu sandaran niniak nan barampek. Batu ini selaras dengan penceritaan empat orang Niniak Mamak Maek, yaitu Datuak Maharajo Indo, Datuak Siri, Datuak Bandaro dan Datuak Rajo Dubalai.
Datuk Maharajo Indo memiliki wilayah Koto Laweh, Baruah Gunuang, Koto Tinggi, Pua Data, Talang Anau, Tanjuang Bungo, Sungai Naniang, Sungai Rimbang, Andiang, dan Limbanang.
Datuk Bandaro berwilayah di sekitaran Maek. Datuk Siri berwilayah di Mungka, Jopang Manganti, Talang Maur, Simpang Kapuak, Sungai Antuan, Gunung Bungsu, dan Gunung Malintang.
Sementara Datuak Rajo Dubalai berwilayah di Muaro Takus (XIII Koto Kampar) dan menjadi pucuak andiko 44. Sebelum membuka wilayah baru, keempat datuak itu dalam tutur cerita bermula berasal dari Maek.
Menurut ceritanya pula, mereka memiliki kesaktian masing-masing. Datuak Maharajo Indo si ahli memanah, Datuak Siri si ahli tembus pandang, Datuak Bandaro si ahli menyelam dan Datuak Rajo Dubalai orang kuat dan gagah.
Mereka pergi untuk meneruka di tempat yang baru. Mereka menelusuri muara Batang Mahat, terus berlanjut ke Kampar Kanan dan melanjutkan perjalanan ke samudera lepas di Selat Malaka. Dalam perjalanannya mereka menyelamatkan seorang putri cantik yang diserang seekor burung raksasa. Putri cantik itu bernama Indra Dunia, berasal dari Mahat India.
Kesaktian keempatnya terpakai. Dari kejauhan Datuak Siri melihat sang putri dalam bahaya, lalu Datuak Maharajo Indo memanahnya. Indra Dunia lepas dari serangan dan jatuh ke laut yang kemudian diselamatkan Datuak Bandaro. Setelah selamat, hamburan terima kasih disampaikan Indra Dunia, sembari melihat gagahnya Datuak Rajo Dubalai.
Indra Dunia mau saja mengikuti perjalanan mereka, asal bersama Datuak Dubalai. Dan akhirnya diajak ke Koto Gadang sampai Indra Dunia disebut-sebut si Putri Mahat. Memadu cinta dan kasih, Datuak Dubalai dan Indra Dunia bersama. Mereka berdua pindah ke Muaro Mahat dan mendirikan Candi Muara Takus – legenda ini dikisahkan pula dalam ashabul hikayat Putri India yang bermukim di Muara Takus dan tertuang dalam Prasati Kedudukan Bukit Palembang.
***
Legenda kedua, asal muasal orang Mahat berasal dari Kamboja. Seorang pemuda bernama Datuk Sri Gala yang cerdas dan tampan. Hanya saja dia seorang yang miskin. Tapi seorang raja di Kamboja tetap ingin menikahkan putrinya dengan Datuk Sri Gala.
Bukan menolak dan bukan pula menerima langsung, tapi ada permintaan. Datuk Sri Gala meminta diri untuk menyelidiki dahulu daratan Indo Cina. Dalam penelusurannya ke daratan Indo Cina, Datuk Sri Gala banyak menemukan kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan.
Setelah permintaan itu ditunaikan dan dituntaskan, barulah Datuk Sri Gala menikahi putri raja. Datuk Sri Gala membawa istrinya ke arah selatan untuk meneruka. Sang raja membantu dengan menyiapkan tujuh buah armada kapal lengkap dengan prajuritnya.
Menyusuri pantai arah ke selatan dan sampailah di ujung Tanah Malaka berbelok ke utara. Di ujung utara pulau Sumatra, tepatnya di Aceh sekarang, daerahnya sudah berpenghuni. Dan dilanjutlah ke selatan menyusuri pantai timur Sumatra dan sampai di muara Batang Kampar. Kemudian menyusuri lagi sealiran sungai sampai ke Mahat.
Akhirnya di Mahat mereka menambatkan kapalnya di tepi Batang Mahat dekat Sopan Tanah, yang mana tempat itu disebut Tambatan. Kemudian mereka menetap di Ampang Gadang. Di waktu menetap inilah menhir dibuat oleh Datuk Sri Gala sebagai tanda pemakaman rombongannya yang telah mati.
Menhir ini memang terdapat di sekitaran wilayah Ampang Gadang, Koto Tinggi, Ronah dan beberapa tempat lain. Sampai kematian Datuk Sri Gala sendiri disemayamkan di Ampang Gadang dekat Bukit Pao Ruso di bawah batang kayu dengan tanda empat buah batu.
***
Legenda ketiga tentang Bukit Posuok atau Bukit Pao Ruso. Tersebutlah seorang sakti bernama Baginda Ali. Ia bertubuh besar, makan banyak dan pemurah hati. Raksasa si Baginda Ali ini menguasai Maek sampai ke Gunung Malintang (Kecamatan Pangkalan). Bagaknya Baginda Ali, sampai-sampai segala sesuatu perbuatan harus terlebih dahulu dari izinnya.
Suatu hari, orang-orang di Gunung Malintang berburu rusa, dan itu tanpa sepengetahuan Baginda Ali. Rusa didapat lalu pahanya akan diberikan untuk Baginda Ali sebagai upeti. Baginda Ali tak terima upeti itu. Ia merasa tersinggung dan kehormatannya tak dihargai.
Marah yang bukan main, paha rusa itu dilempar sekuat tenaga ke arah bukit hingga menembus bukit. Paha rusa mendarat di sebuah padang ilalang. Dan bukit itulah dinamai Bukit Pao Ruso, yang berarti paha rusa. Batu yang menembusi puncak bukit disebut Bukit Posuok.
Di Menhir Maek legenda ini juga dikaitkan. Pada tahun 1997, seorang arkeolog dan biolog di Situs Bawah Parit Mahat mendapati rangka manusia yang sangat rapuh, yang dilihat dari pengamatan terhadap bentuk gigi dan bentuk tengkoraknya yang menunjukkan rangka manusia ini mengacu ciri-cirinya pada ras Mongoloid.
***
Memang secara kait berkait ini masih terlihat tak rasional. Namun, secara berkelanjutan ini tidaklah merusak citra Menhir Maek.
Dalam Etnologi, nature of point atau penceritaan masyarakat tetap menjadi sumber yang dibutuhkan. Adanya folklor di Maek ini menandakan masyarakat Maek sangat menghargai keberadaan Menhir Maek.
Terlepas dari percaya atau tidaknya, folklor yang telah diwarisi Maek tentang menhir dan Maek-nya telah membuktikan diri bahwa menhir dan Maek mampu bertahan dalam kelindan zaman. Setidaknya cerita rakyat ini yang akhirnya menggugah hati para pakar untuk mendalaminya.
Selain itu, tumbuh dan hidupnya folklor tentang menhir dan Maek turut serta menguatkan sektor-sektor yang seharusnya dibutuhkan, seperti pariwisata. Cerita rakyat setidaknya menjadi pemanis cerita akan keberadaan Menhir Maek agar terus dapat digubris. Adanya folklor ini telah berdampak baik bagi keterawatan Menhir Maek sampai sekarang.
Luak Bongsu Pun Telah Tua
Bak sebut tambo, Luhak Lima Puluh Kota ini Buminyo sajuak, aianyo janiah, ikannyo jinak. Tambo yang diragukan, tapi apa yang disampaikannya dapat dirasakan. Bentangan alam Luhak Lima Puluh Kota memanglah indah, hutan-hutan mengairi sungai, sawah-sawah terbentang luas, dan orang-orangnya berlaku ramah.
Ini tidaklah mencari benar-salah antara sebutan si bungsu atau peradaban tua. Spekulasi-spekulasi yang ada, sebaliknya adalah sumber dari kekayaan budaya yang dimiliki Menhir Maek. Menhir dan Maek ada karena kekayaan budaya itu sendiri.
Jika tak demikian, bisa saja Menhir Maek lenyap dan dihiraukan. Ketahanan budaya Maek telah memberikan dampak yang luas akan banyak hal. Banyaknya pandangan secara teoritis, baik dari sejarah maupun etnografi, telah menstimulus Menhir Maek untuk terus digali.
Kontradiktif arkeologis dan tambo ini ibarat sebuah perpaduan, agar Menhir Maek tak dipandang lengang dalam keramaian. Keduanya saling memberikan arah yang sama, yaitu untuk terus menjajalnya. Sebab, banyak hal yang harus dicari betul tentang Maek.
Maek yang mungkin kurang sentuhan Perang Paderi, nyatanya menyematkan dengan baik peninggalan-peninggalannya yang bernilai. Keamanan Maek dan sekitarnya juga menjadi tempat bersemayamnya peristiwa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) 1948.
Maek hadir dengan sekaliber peristiwa-peristiwa yang sangat berperan, namun kurang belaian. Menung menhir yang tetap menunduk ke Gunung Sago itu hanya dijaga oleh cerita-cerita andai dari masyarakatnya.
Tapi dapat ditilik kembali, sosial budaya, sejarah, dan yang lain mampu membingkai Menhir Maek dengan baik sampai sekarang ini. Dan ini artinya, kesetiaan Menhir Maek menatap Gunung Sago tetap membuka lebar jawaban-jawaban atas keraguan banyak orang. Misteri Maek masih ternganga untuk dapat terus didalami. (*)
Berita Terkait : Angkat Budaya Seribu Menhir, Juli Festival Maek Ditabuh