Hegemoni Digital Banking dan Interaksi Sosial Nasabah Pensiunan

Oleh : Shanty Dewi Fauzy (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta)

Shanty Dewi Fauzy

Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana interaksi sosial dalam penggunaan digital banking nasabah pensiunan yang dianalisis dari sudut pandang Teori Hegemoni Antonio Gramsci. Saat ini digitalisasi telah menjadi suatu trend bahkan menjadi suatu kebutuhan dalam berbagai sendi kehidupan manusia, tidak terkecuali pada dunia perbankan. Kebutuhan nasabah akan  layanan yang tersentralisasi, cepat, mudah, dan murah harus disikapi oleh industri perbankan dengan menyediakan produk layanan yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat tersebut. Akibatnya dapat dilihat bahwa saat ini semua bank berpacu dalam menyediakan aplikasi transaksi yang berbasis digital agar bank tersebut tidak kalah bersaing.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Bank Indonesia, perkembangan transaksi digital di Indonesia pada rentang waktu tahun 2017 sampai 2020 tumbuh sebesar 1.556 persen dengan nilai transaksi uang elektonik lebih dari Rp. 786,35 Triliun. Tuntutan digitalisasi perbankan ini diperkuat oleh dorongan pertumbuhan perekonomian  Indonesia yang berpotensi besar menyerap arus digitalisasi. Terdapat dua keuntungan digitalisasi pada dunia perbankan yaitu meluasnya akses perbankan ke segala lapisan masyarakat dan selanjutnya dapat meningkatkan daya saing perbankan itu sendiri.

Dengan digitalisasi tentu kehidupan nasabah menjadi  lebih mudah dan cepat, transaksi keuangan hanya dalam genggaman, tidak perlu meninggalkan rumah dan bepergian untuk bertransaski. Namun, di sisi lain ternyata ada kelompok masyarakat yang tidak terlalu membutuhkan produk digital perbankan, namun mereka harus memiliki produk digital tersebut yaitu para pensiunan. Bahkan di sisi lain interaksi sosial mereka dengan sesama pensiunan lain tergerus karena mereka tidak lagi bertemu saat momen mengambil gaji pensiun di bank. Fenomena ini menarik perhatian penulis untuk menganalisis lebih lanjut dengan menggunakan  teori Hegemoni dari Antoni Gramsci.

Hegemoni menurut Antonio Gramsci

Antonio Gramsci lahir di Ales Italia pada tanggal 22 Januari tahun 1891 dan wafat pada 27 April 1937. Selain  sebagai seorang filsuf, penulis, dan ahli teori politik, Gramsci dikenal juga sebagai salah satu intektual besar kalangan kiri dan seorang pemikir setelah Karl Marx. Dari berbagai tulisannya yang paling fenomenal adalah pemikirannya mengenai Hegemoni. Teori Hegemoni dianggap mampu membawa perubahan besar sekaligus perdebatan panjang di kalangan ahli teori sosial. 

Pemikiran Gramsci mengenai Marxisme dituangkannya dalam tulisan-tulisan yang menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik yang bersifat hegemonistik.  Hegemoni merupakan suatu konsep yang digunakan Gramsci sebagai cara seorang fasis untuk menjaga keberlangsungan kekuasaannya dalam sebuah negara kapitalis, dimana Hegemoni adalah pengondisian cara berpikir dan bertindak sebagai akibat dari kesadaran kolektif sebuah organisme yang memberi hidup pada bagian-bagiannya.

Teori Hegemoni sesungguhnya adalah kritikan kepada pola pikir yang menganggap bahwa suatu entitas/kelas tertentu sebagai pemegang kebenaran yang mutlak, pemikiran ini melekat kepada penganut Marxisme. Konsep awal Gramsci tentang hegemoni bahwa suatu kelas memiliki dan menjalankan kekuasaan itu pada kelas-kelas di bawahnya baik dengan kekerasan maupun dengan cara persuasi. Hegemoni tidak dipandang sebagai dominasi kekuasaan namun sebagai dominasi ideologis, sehingga disimpulkan bahwa hegemoni menurut Gramsci adalah kepatuhan secara konsesus karena telah dikuasai oleh ideologi dari kelas yang menghegemoni.

Gramsci berbicara tentang hegemoni dengan konsesus yang berkaitan dengan spontanitas secara psikologis dalam menerima aturan. Konsesus bisa terjadi karena beberapa hal yaitu : pertama, adanya rasa ketakutan apabila tidak mematuhinya terutama dengan konsekwensi yang akan dihadapi. Kedua, dikarenakan terbiasa mengikuti dan patuh pada tujuan tertentu. Ketiga, karena kesadaran atau persetujuan. Konsensus yang dimaksud oleh Gramsci pada Teori Hegemoni adalah konsensus dengan persetujuan dan kesadaran.

Hegemoni Penggunaan Digital Banking dan Interaksi Sosial Nasabah Pensiunan

Saat ini digitalisasi telah menjadi suatu trend bahkan menjadi suatu kebutuhan dalam berbagai sendi kehidupan manusia, tidak terkecuali pada dunia perbankan. Kebutuhan nasabah akan  layanan yang tersentralisasi, cepat, mudah, dan murah harus disikapi oleh industri perbankan dengan menyediakan produk layanan yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat tersebut. Akibatnya dapat dilihat bahwa saat ini semua bank berpacu dalam menyediakan aplikasi transaksi yang berbasis digital agar bank tersebut tidak kalah bersaing.

Memang diakui bahwa dengan digitalisasi tentu transaksi nasabah menjadi  lebih mudah dan cepat, transaksi keuangan hanya dalam genggaman, tidak perlu meninggalkan rumah dan berpergian untuk bertransaksi. Bagi para pensiunan penggunaan digital banking tentu membantu mereka untuk bertransaksi tanpa harus pergi ke bank. Namun, di sisi lain perlu dikritisi bahwa ternyata digitalisasi produk perbankan membuat para  pensiunan mengurangi interaksi satu sama lain sesama pensiunan.

Beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti pengaruh penggunaan produk digital bank terhadap perilaku masyarakat memperoleh kesimpulan digital banking meberikan manfaat yang besar pada efektifitas dan efisiensi transaksi nasabah, serta memberi pengaruh kepada perilaku konsumsi dan interaksi sosial masyarakat. Namun bila dicermati selain pengaruh positif, terdapat juga pengaruh negatif terhadap penggunaan produk digital yaitu berkurangnya interaksi sosial masyarakat itu secara fisik di dunia nyata. 

Menurut Gramsci, fasisme adalah rezim dominasi kesadaran budaya melalui dua jalan kekuasaan, yaitu : pemaksaan dengan kekerasan (coarse) dan pengondisian kepatuhan masyarakat kepada penguasa (hegemoni). Gramsci memfokuskan analisisnya pada hegemoni yang mengikis daya kritis masyarakat. Teori Hegemoni Gramsci berfokus kepada point ke dua yaitu hegemoni sebagai akibat dari pengondisian kepatuhan masyarakat kepada penguasa. Untuk kasus yang dianalisis ini, masyarakat yang dimaksud adalah nasabah bank yaitu para pensiunan sedangkan penguasa yang dimaksud adalah industri perbankan itu sendiri.

Industri perbankan seolah-olah telah menjadi penguasa karena segala transaksi keuangan masyarakat mau tak mau harus menggunakan jasa perbankan, boleh disebut bahwa setiap masyarakat membutuhkan jasa perbankan. Tidak puas dengan penguasa transaksi keuangan masyarakat saja, bank dari waktu ke waktu menginginkan keuntungannya meningkat.  Agar keuntungannya meningkat bank harus memperluas layanannya dan beroperasi secara efisien.

Digitalisasi produk perbankan menjadi salah satu inovasi perbankan yang sejalan dan mengikuti perkembangan dunia tekhnologi. Bank mengiklanlan secara massive betapa produk-produk digital mereka akan dapat membuat hidup masyarakat lebih mudah dan kualitas hidup meningkat. Membuat masyarakat merasa bahwa tanpa digital banking mereka akan ketinggalan dan merasa dipersulit. Padahal di balik itu, masifnya pemasaran produk digital banking ini sebenarnya adalah untuk kepentingan bank itu sendiri juga, yaitu meningkatkan keuntungan. 

Pada dunia perbankan, segala kelebihan produk digital bank diiklankan kepada masyarakat  dan dalam pelaksanaannya semua nasabah diwajibkan memiliki produk digital bank dengan berdalih sesuai aturan dan ketentuan pembukaan rekening. Bila tidak patuh dengan ketentuan itu maka masyarakat tidak bisa memiliki rekening di bank. Dalam hal ini secara tidak langsung Bank telah melakukan ‘pemaksaan’ kepada nasabah sedangkan di sisi lain nasabah tidak menyadari bahwa mereka telah dipaksa.

Konsep awal Gramsci tentang hegemoni bahwa suatu kelas memiliki dan menjalankan kekuasaan itu pada kelas-kelas di bawahnya baik dengan kekerasan maupun dengan cara persuasi. Hegemoni tidak dipandang sebagai dominasi kekuasaan namun sebagai dominasi ideologis, sehingga disimpulkan bahwa hegemoni menurut Gramsci adalah kepatuhan secara konsesus karena telah dikuasai oleh ideologi dari kelas yang menghegemoni (Siswati, 2017). Menurut Gramsci, Hegemoni seharusnya menggunakan konsensus dari pihak yag berkuasa kepada kelas-kelas di bawahnya. Terkait fenomena digital banking ini secara di atas kertas terjadi konsensus yaitu persetujuan dari para pensiunan untuk menggunakan digital banking sebagai sarana penarikan uang pensiuan dan pengelolaan transaksinya melalui penandatanganan sebagai tanda persetujuan pada aplikasi pembukaan digital banking itu.

Namun konsesus berupa tandatangan tersebut tidak murni sebagai pernyataan persetujuan yang tulus, ada rasa ketakukan dari para pensiunan itu kalua nanti tidak bisa mengambil uang pensiun mereka. Hal ini sesuai dengan Gramsci yang berbicara tentang hegemoni dengan konsesus yang berkaitan dengan spontanitas secara psikologis dalam menerima aturan. Konsesus bisa terjadi karena beberapa hal yaitu : pertama, adanya rasa ketakutan apabila tidak mematuhinya terutama dengan konsekwensi yang akan dihadapi. Kedua, dikarenakan terbiasa mengikuti dan patuh pada tujuan tertentu. Ketiga, karena kesadaran atau persetujuan. Konsensus yang dimaksud oleh Gramsci pada Teori Hegemoni adalah konsensus dengan persetujuan dan kesadaran. Sedangkan para pensiunan itu menggunakan produk digital banking bukan karena kesadaran mereka atau karena mereka ingin memiliki, tapi karena ketakukan, atau karena patuh.

Bagi para pensiunan keharusan memiliki produk digital ini berlaku untuk semua nasabah termasuk nasabah penerima pensiun, dimana sebenarnya sebagian para pensiunan ini tidak begitu familier dengan produk digital bank. Selanjutnya bank juga mengeluarkan peraturan bahwa penarikan tunai dengan jumlah di bawah batas tertentu dikenakan biaya administrasi, yang berarti secara tidak langsung juga ‘memaksa’ nasabah untuk mengurangi kunjungan mereka ke bank 

Di sisi lain, pada beberapa fenomena, bagi para pensiunan, datang ke bank setiap awal bulan adalah suatu hiburan dan darmawisata bagi mereka. Bukan hanya masalah menarik uang tunai nya, namun bertemu dengan teman-teman lama yang hanya bisa ditemui sebulan sekali. Momen antri di bank adalah momen bercerita, bersenda gurau dan canda tawa bagi mereka. Membicarakan kisah lama, anak, cucu, dokter langganan, obat-obatkan, olah raga, arisan, dll. Sepulang dari bank, mereka bercerita di rumah tentang keceriaan hari itu dan tak sabar menunggu bulan depan datang. 

Namun akhir-akhir ini aktifitas tersebut sudah tidak ditemui lagi, pensiunan yang datang ke bank berkurang sedikit demi sedikit, uang pensiun bisa ditransaksikan dengan mobile banking dan Qris. Para pensiunan tidak diberi pilihan apakah pensiun diambil tunai atau melalui transaksi digital. Bagi bank ini menguntungkan karena bank lebih efisien dalam hal biaya operasional, perlahan bank bisa mengurangi jumlah pegawai, tidak perlu menyediakan uang tunai, dan biaya-biaya umum lainnya. Dalam hal ini dapat dikatakan bank menciptakan hegemoni untuk kepentingan bank itu namun yang dikemukakan dipublik adalah seolah-olah manfaat yang didapat nasabah. (*)

Exit mobile version