Layaknya “industri” (dalam pikiran Adorno/Horkheimer mengacu pada produksi film Hollywood) tentunya ada proses rasionalisasi yang saat ini telah menjadi nyata dalam budaya. Sebuah industri tentunya bukan hanya berfokus pada memiliki standardisasi barang dan rasionalisasi teknik distribusi dan proses produksi serta saja (Adorno 1991). Menurutnya industri dalam konteks budaya tentunya akan memiliki logika penjualan, hubungan penawaran dan permintaan, serta selera masyarakat, yang ditentukan oleh riset pasar, sepenuhnya membentuk komoditas budaya. Artinya akan ada persaingan atas produk yang dihasilkan dimana satu produk yang dominan dari sisi demand akan menggerus demand terhadap produk lainnya. Apa yang bisa disimpulkan dari sini adalah, ketika suatu produk budaya impor sebut saja Korean Wave dalam bentuk apapun akan berdampak pada menurunnya minat terhadap budaya lainnya, khususnya produk budaya dalam negeri.
Sehingga penulis melihat dan menilai bahwa dampak lainnya dari impor budaya popular ini adalah bagaimana yang disebut Adorno/Horkheimer, (1997) sebagai “penipuan massal” berbentuk “pencerahan”. Dalam konteks ini terjadi “massa yang tertipu” dimana massa akan lebih terintegrasi secara sosial dan dilatih untuk taat dengan lebih efektif dengan apa yang disampaikan oleh produk budaya tersebut. Dampaknya sebagai sebuah industri, produksi kapitalis akan begitu membatasi [massa], jiwa dan raga, sehingga mereka menjadi korban yang tidak berdaya terhadap apa yang ditawarkan kepada mereka (Adorno/Horkheimer 1997).
Selanjutnya apa yang bisa dilakukan atas adanya ancaman ini. Penulis melihat, solusi dari ancaman terpaan impor budaya populer ini dari dua sisi. Pertama, dengan pendekatan persaingan industri dan kedua, melalui pendekatan emosional dari masyakarat dengan menumbuhkan empati terhadap budaya bangsa. Melalui pendekatan persaingan industri, produksi budaya dalam negeri tentunya harus memiliki keunggulan daya saing yang cukup agar meningkatkan demand masyarakat terhadap suatu produk budaya.
Produksi budaya populer seperti film dan musik dari Indonesia sebenarnya mempunyai masa depan yang cerah jika melihat dinamika beberapa tahun ke belakang. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun tarakhir produk film Indonesia yang tayang di bisokop sudah menyaingi film-film dari luar dari sisi demand yang terlihat pada beberapa film berhasil mencatatkan jumlah penonton yang sangat besar seperti KKN Desa Penari, Agak Laen, dan film-film lainnya. Artinya jika industri budaya di dalam negeri mampu dikembangkan dengan semua pihak memainkan peranan penting secara industri budaya kita tentunya bisa keluar dari ancaman impor produk budaya luar negeri.
Pendekatan kedua dari sisi emosional, sebuah produk tentunya tidak akan bisa berhasil diterima ketika produk tersebut tidak mampu menyentuh sisi emosional dari konsumennya. Kedetakatan dan ikatan emosional masyarakat Indonesia dengan budaya tentunya tidak bisa dihapuskan, hanya saja alternatif yang disajikan budaya lain terkadang menjadi menarik bagi masyarakat karena kurang menariknya kemasan yang diciptakan untuk produk budaya dalam negeri. Artinya impor produk budaya populer dari luar negeri tidak akan mengancam budaya kita, jika 1) secara industri baik pelaku kreatif yang menciptakan kemasan budaya dengan baik, 2) ditunjang dengan kemampuan pemilik modal menciptakan iklim industri budaya yang positif dan 3) emosional masyarakat dalam mencintai produk budayanya sendiri dapat terus terjaga. (*)