Ancaman Impor Ragam Produk Budaya Populer Terhadap Budaya Bangsa

Bagya S. (Mahasiswa Program Studi Doktor Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta)

Bagya S.

Perkembangan dan warisan budaya Indonesia dalam beberapa dekade ini selalu mendapat tantangan besar dari terpaan masuknya budaya populer dari berbagai belahan dunia. Selain dari Amerika Serikat melalui produsen budaya terbesar Hollywood, masyarakat Indonesia juga sangat dekat dengan beragam tontonan produk budaya dari Tiongkok pada era tahun 90-an.  Di era berikutnya Indonesia sangat akrab dengan film-film atau musik dari India yang dikenal dengan Bollywood. Terbaru, produk-produk budaya dari Korea Selatan atau yang dikenal dengan Korean Wave juga digilai sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini. Lalu apakah ada dampak yang perlu menjadi perhatian kita terhadap identitas dan budaya bangsa Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan dasar pada tulisan saya ini.

Agar mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, penulis mencari landasan dasar pemikiran berbagai tokoh terkait industri budaya. Berdasarkan Rebentisch & Trautmann, (2019) industri budaya tidak diragukan lagi adalah salah pembahasan yang paling berpengaruh dalam sejarah film, media, dan kajian budaya, meskipun pembahasan ini bisa menjadi semacam cakrawala negatif yang bisa menjadi tempat munculnya disiplin-disiplin baru. Menurut mereka, pemikiran Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer terus muncul kembali dan menjadi landasan dalam disiplin ilmu industri budaya ini yang dikembangkan dalam bentuk yang semakin baru. Penulis mungkin tidak akan fokus pada pemikiran pada tokoh-tokoh pemikir dalam perkembangan industri budaya, namun akan lebih berfokus bagaimana pemikiran dari beberapa tokoh kritis industri budaya dapat memberikan gambaran atau peringatan bagi kita tentang dampak dari kepentingan khusus film, media, dan budaya luar terhadap budaya bangsa.

Pertama-tama penulis merasa perlu menyertakan dasar pemikiran Theodor W. Adorno dan Max Horkheimer serta pemikiran Siegfried Kracauer. Pemikiran tokoh kritis ini tentunya bisa memberikan pemahaman lebih kepada kita bagaimana industri budaya bekerja dan bagaimana dampak yang bisa ditimbulkannya. Namun terlebih dahulu menurut Rebentisch & Trautmann, (2019) dalam membahas dinamika industri budaya, kita harus membedakan dan memilih antara dua jalur argumentasi yang berbeda. Pertama, pemikiran yang cenderung mengasosiasikan industri budaya dengan budaya massa yang berbeda dengan seni. Kedua pemikiran yang menganggap gagasan industri budaya memungkinkan adanya perspektif kritis dalam penyelidikan budaya massa. Penulis kali ini akan memfokuskan pembahasan pada pilihan kedua ini dimana penulis melihat industri budaya adalah suatu pembahasan kritis, namun tidak menolak konsep budaya massa begitu saja.

Pemikiran Walter Benjamin dan Siegfried Kracauer memainkan peran utama dalam mengembangkan perspektif yang mengungkap banyak pertentangan fenomena budaya massa, sehingga juga memungkinkan kita mengungkap potensi emansipatorisnya. Mereka memandang budaya massa sebagai bagian integral dari bentuk kehidupan yang berkembang di kota-kota metropolitan modern dan didominasi oleh media massa, seperti fotografi, majalah, radio, dan bioskop. Namun kita tidak hanya bisa melihat media budaya massa, namun juga cara-cara baru bagaimana masyarakat menerima media tersebut, yang membentuk persepsi massa dan berbagai lapisan budaya masyarakat (Rebentisch & Trautmann, 2019).

Pemikiran dari Benjamin dan Kracauer menunjukkan bahwa fungsi budaya massa tidak hanya mengalihkan perhatian kita dan mengimbangi tuntutan dunia kerja yang sudah dirasionalisasikan secara menyeluruh, sudah sejak lama budaya massa terkhususnya hasil seni merupakan sebuah cara untuk mengalihkan perhatian dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Jadi bisa dikatakan suguhan budaya massa tentunya sangat mudah masuk ke suatu lingkungan masyarakat seperti di Indonesia dengan banyak masalah dan tantangan sosial yang dihadapi masyarakat. Selain itu budaya massa tentunya tidak bisa dipandang hanya sebatas sekedar hiburan dan kesenangan. Budaya massa seperti gejala yang sedang dihadapi Indonesia dengan beragam produk budaya Korea melalui K-Pop dan K-Drama bisa menjadi rangsangan dan gangguan baru yang akan memberikan sedikit ruang untuk pengembangan budaya yang sudah lama kita miliki.

Namun tantangannya adalah alih-alih mencari obat penawar terhadap dampak dari gelombang budaya yang datang dari Korea Selatan dan produsen budaya populer lainnya. Saat ini kita dihadapkan pada masih lemahnya alternatif suguhan budaya dari dalam negeri yang bisa menjadi pesaing media hiburan. Dinamika ini juga telah dijelaskan oleh Kracauer yang menyebut sinema serta beberapa fenomena budaya massa lainnya yang umumnya sudah sering diabaikan. Jadi budaya massa yang masuk ke Indonesia sudah pasti memiliki dampak yang kuat terhadap eksistensi dari budaya lokal. Hal ini bisa terlihat bagaimana fashion dan gaya hidup dapat menular dari Amerika Serikat ke seluruh negara di berbagai penjuru dunia. Dampak pastinya adalah gelombang budaya yang masuk ke Indonesia baik secara langsung maupun tidak akan memudarkan kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap budaya Indonesia.

Lalu apa yang bisa memastikan adanya dampak buruk impor budaya populer terhadap bangsa Indonesia sudah terjadi ketika masyarakat sudah mulai mengkonsumsi dan tergantung pada produk budaya (film, musik dan lainnya) luar. Jawabannya penulis dapat dengan meminjam pemikiran Adorno dan Horkheimer yang menyampaikan konsep industri budaya. Berbicara tentang kebudayaan sebagai suatu industri pada awalnya menyiratkan bahwa proses produksi industri diterapkan pada bidang kebudayaan. Namun Adorno dan Horkheimer tidak menggunakan istilah tersebut dalam arti sempit untuk menunjukkan cara produksi; sebaliknya, mereka memahami produksi dan konsumsi budaya sebagai sebuah “sistem” yang komprehensif dan tertutup. Menurut mereka: “Film, radio, dan majalah membentuk sebuah sistem yang seragam secara keseluruhan dan di setiap bagiannya,” terdapat “ketaatan yang antusias terhadap budaya.” ritme “sistem besi,” dan “di mana-mana terdapat tanda-tanda lahiriah dari perencanaan cerdik yang menjadi perhatian internasional” (Adorno/Horkheimer, 1997).

Layaknya “industri” (dalam pikiran Adorno/Horkheimer mengacu pada produksi film Hollywood) tentunya ada proses rasionalisasi yang saat ini telah menjadi nyata dalam budaya. Sebuah industri tentunya bukan hanya berfokus pada memiliki standardisasi barang dan rasionalisasi teknik distribusi dan proses produksi serta saja (Adorno 1991). Menurutnya  industri dalam konteks budaya tentunya akan memiliki logika penjualan, hubungan penawaran dan permintaan, serta selera masyarakat, yang ditentukan oleh riset pasar, sepenuhnya membentuk komoditas budaya. Artinya akan ada persaingan atas produk yang dihasilkan dimana satu produk yang dominan dari sisi demand akan menggerus demand terhadap produk lainnya. Apa yang bisa disimpulkan dari sini adalah, ketika suatu produk budaya impor sebut saja Korean Wave dalam bentuk apapun akan berdampak pada menurunnya minat terhadap budaya lainnya, khususnya produk budaya dalam negeri.

Sehingga penulis melihat dan menilai bahwa dampak lainnya dari impor budaya popular ini adalah bagaimana yang disebut Adorno/Horkheimer, (1997) sebagai “penipuan massal” berbentuk “pencerahan”. Dalam konteks ini terjadi “massa yang tertipu” dimana massa akan lebih terintegrasi secara sosial dan dilatih untuk taat dengan lebih efektif dengan apa yang disampaikan oleh produk budaya tersebut. Dampaknya sebagai sebuah industri, produksi kapitalis akan begitu membatasi [massa], jiwa dan raga, sehingga mereka menjadi korban yang tidak berdaya terhadap apa yang ditawarkan kepada mereka (Adorno/Horkheimer 1997).

Selanjutnya apa yang bisa dilakukan atas adanya ancaman ini. Penulis melihat, solusi dari ancaman terpaan impor budaya populer ini dari dua sisi. Pertama, dengan pendekatan persaingan industri dan kedua, melalui pendekatan emosional dari masyakarat dengan menumbuhkan empati terhadap budaya bangsa. Melalui pendekatan persaingan industri, produksi budaya dalam negeri tentunya harus memiliki keunggulan daya saing yang cukup agar meningkatkan demand masyarakat terhadap suatu produk budaya.

Produksi budaya populer seperti film dan musik dari Indonesia sebenarnya mempunyai masa depan yang cerah jika melihat dinamika beberapa tahun ke belakang. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun tarakhir produk film Indonesia yang tayang di bisokop sudah menyaingi film-film dari luar dari sisi demand yang terlihat pada beberapa film berhasil mencatatkan jumlah penonton yang sangat besar seperti KKN Desa Penari, Agak Laen, dan film-film lainnya. Artinya jika industri budaya di dalam negeri mampu dikembangkan dengan semua pihak memainkan peranan penting secara industri budaya kita tentunya bisa keluar dari ancaman impor produk budaya luar negeri.

Pendekatan kedua dari sisi emosional, sebuah produk tentunya tidak akan bisa berhasil diterima ketika produk tersebut tidak mampu menyentuh sisi emosional dari konsumennya. Kedetakatan dan ikatan emosional masyarakat Indonesia dengan budaya tentunya tidak bisa dihapuskan, hanya saja alternatif yang disajikan budaya lain terkadang menjadi menarik bagi masyarakat karena kurang menariknya kemasan yang diciptakan untuk produk budaya dalam negeri. Artinya impor produk budaya populer dari luar negeri tidak akan mengancam budaya kita, jika 1) secara industri baik pelaku kreatif yang menciptakan kemasan budaya dengan baik, 2) ditunjang dengan kemampuan pemilik modal menciptakan iklim industri budaya yang positif dan 3) emosional masyarakat dalam mencintai produk budayanya sendiri dapat terus terjaga. (*)

Exit mobile version