Pertama, untuk beroleh dukungan parpol, tentu kandidat harus merogoh kantong, agar mandat bisa di tangan. Ingat, tak ada makan siang yang gratis. Kecuali untuk buang angin (kentut) semuanya sekarang berbayar.
Jika paslon ini menang, tentu ada upaya pengembalian hutang modal yang telah dibenamkan ke kantong Parpol pengusung sebelumnya. Tak semua kandidat punya modal finansial yang mumpuni.
Mayoritas mereka mengandalkan partisipasi dari pihak ketiga sebagai penyandang dana. Bisa atas nama hutang yang harus dicicil pembayarannya, bisa juga dalam bentuk lain seperti cawe-cawe APBD, bagi-bagi proyek salah satunya dan peluang investasi di daerah tersebut melalui kebijakan Kepala daerah.
Kedua, modal Pilkada yang lumayan besar itu, otomatis akan menyeret kepala daerah terpilih kedalam pusaran kepentingan sang pemodal. Kepentingan masyarakat itu perkara belakangan.
Dari perspektif masyarakat, kotak kosong berarti hilangnya alternatif pilihan. Pilkada seharusnya memberikan pilihan kepada masyarakat untuk memilih calon pejabat publik terbaik.
Namun, ketika hanya ada satu calon melawan kotak kosong, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih berdasarkan penilaian yang adil dan berdasarkan hati nurani. Demokrasi yang sehat melibatkan masyarakat dalam semua tahap proses Pilkada, dari seleksi hingga pemilihan.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada tidak hanya mencerminkan demokrasi yang tidak sehat tetapi juga kegagalan institusi politik dalam menjalankan fungsi mereka. Untuk mencapai tujuan Peace, Justice, and Strong Institutions, diperlukan partai politik yang mampu menjalankan fungsi seleksi dan kaderisasi dengan baik, membangun kepercayaan dengan masyarakat, serta merumuskan kebijakan yang relevan dan visioner.