Cara termudah untuk membedakan kesenangan yang datangnya dari kemurkaan Allah dengan istidraj adalah ketakwaan. Jika orang tersebut taat dalam beribadah, bisa jadi nikmat yang diterima adalah kemurkaan Allah. Begitupun sebaliknya, apabila orang tersebut lalai dalam ibadah bisa jadi itu merupakan istidraj.
Salah satu peran pemangku adat terhadap anak cucu kemenakan adalah manyuruah ka nan baiak, mambao ka nan elok (menyuruh pada yang baik dan membawa pada yang elok). Artinya, mungkin ada saja anak cucu kemenakan yang suka berfoya-foya atas kenikmatan yang dimilikinya. Tetapi pemangku adat tidak mampu memberikan tunjuk ajar kepadanya. Sehingga terjadi pembiaran. Melakukan pembiaran lama-kelamaan menjadi tradisi atau kebiasaan. Lebih parah lagi dikatakan menjadi adat istiadat.
Kalau istidraj sudah dikatakan adat istiadat, maka sudah jauh menyimpang dari ajaran ABS-SBK atau hukum adat Minangkabau. Pemangku adat perlu memperhatikan anak cucu kemenakan yang suka berfoya-foya memperlihatkan kenikmatan dunia, bahkan dipamerkan kepada khalayak ramai. Padahal kenikmatan dunia itu hanya kenikmatan sementara. Dalam kajian adat, rahmat untuk diraso sedangkan nikmat untuk dipareso. Artinya, rahmat dunia itu dirasakan hanya sementara, sedangkan nikmat dirasakan selamanya. Selamanya dirasakan di akhirat kelak. Sekiranya orang hanya memerlukan nikmat dunia saja, maka dia tidak akan dapat nikmat di akhirat. Rahmat dan nikmat akhirat itu adalah dambaan bagi orang yang beriman dan berakal sehat. (*)