Penulis: Ofika Rahmat Julias, SH.,CFP (Wakil Sekretaris Keuangan DPD KNPI Sumbar)
Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita menghadapi tantangan global seperti resesi ekonomi, perang dagang, dan perubahan iklim. Di sisi lain, kita juga memiliki peluang untuk memanfaatkan momentum transisi menuju ekonomi hijau dan digital.
Dalam konteks ini, deflasi yang melanda Indonesia selama lima bulan berturut-turut, sejak Mei hingga September 2024, Indonesia mencatatkan deflasi. Data ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan kondisi ekonomi yang perlu kita cermati.
Di tengah momentum transisi menuju ekonomi hijau dan digital, deflasi ini menjadi tantangan tersendiri yang menuntut strategi jitu untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Deflasi, yang secara sederhana diartikan sebagai penurunan tingkat harga secara umum dalam suatu periode waktu tertentu, bukanlah sekadar penurunan harga yang menguntungkan konsumen.
Namun, di balik itu tersembunyi ancaman serius yang dapat menggerogoti fondasi perekonomian suatu negara. Indonesia, yang selama ini dikenal dengan tingkat inflasi yang relatif stabil, kini mulai merasakan hembusan angin deflasi yang dingin.
Meskipun belum mencapai level yang mengkhawatirkan, namun tren penurunan harga yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir menjadi sinyal bahaya yang tak boleh diabaikan.
Inflasi dan deflasi merupakan dua sisi mata uang yang sama. Inflasi terjadi ketika harga barang dan jasa secara umum meningkat, sedangkan deflasi terjadi ketika harga barang dan jasa secara umum menurun.
Meskipun keduanya merupakan fenomena ekonomi yang umum, deflasi dianggap lebih berbahaya daripada inflasi.
Inflasi dapat diatasi dengan kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, sedangkan deflasi lebih sulit diatasi karena dapat memicu spiral deflasi yang sulit dihentikan.
Spiral deflasi terjadi ketika penurunan harga memicu penurunan permintaan, yang kemudian menyebabkan penurunan harga lebih lanjut, dan seterusnya.
Menelisik contoh kasus deflasi di masa lalu dapat memberikan gambaran nyata tentang bahaya yang mengintai. Jepang, Pada awal 1990-an, mengalami gelembung ekonomi yang kemudian meletus, mengakibatkan penurunan harga aset dan resesi ekonomi.
Deflasi yang terjadi secara terus-menerus memperparah kondisi ekonomi Jepang. Penurunan harga yang terjadi secara terus-menerus menyebabkan penurunan permintaan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Perusahaan-perusahaan Jepang enggan berinvestasi karena khawatir dengan penurunan keuntungan dan permintaan di masa depan. Konsumen menunda pembelian dengan harapan harga akan turun lebih rendah, mengakibatkan penurunan permintaan agregat.
Dampaknya, Jepang mengalami stagnasi ekonomi selama bertahun-tahun, yang dikenal sebagai “Lost Decade”. Pertumbuhan ekonomi Jepang terhenti, tingkat pengangguran meningkat, dan nilai yen melemah.
Pemerintah Jepang berupaya keras untuk mengatasi deflasi dengan menerapkan kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif, namun dampaknya baru terasa beberapa tahun kemudian.
Indonesia juga pernah mengalami deflasi pada tahun 1998-1999, selama krisis moneter Asia. Deflasi terjadi akibat penurunan permintaan yang tajam, terutama disebabkan oleh krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia saat itu.
Penurunan permintaan menyebabkan penurunan harga barang dan jasa, mengakibatkan penurunan profitabilitas perusahaan dan pengangguran.
Meskipun deflasi di Indonesia tidak separah “Lost Decade” di Jepang, dampaknya tetap terasa bagi perekonomian Indonesia.
Deflasi menyebabkan penurunan investasi, penurunan produksi, dan pengangguran. Deflasi, meskipun terdengar positif karena memberikan keuntungan bagi konsumen, menyimpan ancaman serius bagi perekonomian.
Berikut beberapa dampak negatif deflasi yang perlu diwaspadai:
Pertama, Penurunan Permintaan Agregat: Deflasi mendorong konsumen untuk menunda pembelian dengan harapan harga akan turun lebih rendah di masa depan. Hal ini menyebabkan penurunan permintaan agregat, yang berujung pada penurunan produksi dan penjualan.
Kedua, Penurunan Investasi: Deflasi membuat perusahaan enggan untuk berinvestasi karena mereka khawatir dengan penurunan keuntungan dan permintaan di masa depan. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Ketiga, Meningkatnya Utang: Deflasi membuat nilai utang semakin berat karena nilai uang meningkat. Perusahaan dan individu yang memiliki utang akan kesulitan untuk melunasi utang mereka yang dapat berujung pada kebangkrutan.
Keempat, Spiral Deflasi: Deflasi dapat memicu spiral deflasi, yaitu siklus penurunan harga yang terus-menerus dan semakin dalam. Hal ini terjadi karena penurunan harga memicu penurunan permintaan yang kemudian menyebabkan penurunan harga lebih lanjut dan seterusnya.
Deflasi di Indonesia tahun 2024 merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti:
Pertama, Penurunan Harga Komoditas Global: Harga komoditas global seperti minyak mentah dan batu bara mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini menyebabkan penurunan harga bahan baku di Indonesia yang berujung pada penurunan harga barang dan jasa.
Kedua, Perlambatan Ekonomi Global: Perlambatan ekonomi global, terutama di negara-negara mitra dagang Indonesia, menyebabkan penurunan permintaan terhadap produk Indonesia. Hal ini menyebabkan penurunan harga dan produksi di Indonesia.
Ketiga, Kebijakan Moneter yang Ketat: Bank Indonesia (BI) telah menerapkan kebijakan moneter yang ketat dalam beberapa bulan terakhir untuk mengendalikan inflasi. Kebijakan ini dapat berdampak pada penurunan permintaan dan harga di Indonesia.
Keempat, Peningkatan Teknologi dan Efisiensi: Peningkatan teknologi dan efisiensi produksi di berbagai sektor menyebabkan penurunan biaya produksi yang berujung pada penurunan harga jual produk.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi deflasi dan menjaga stabilitas ekonomi di era transisi, antara lain:
Pertama, Meningkatkan Daya Beli Masyarakat: Pemerintah dapat meningkatkan daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial, subsidi, dan peningkatan upah minimum. Program bantuan sosial dapat membantu masyarakat yang terdampak deflasi untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Subsidi dapat membantu mengurangi beban biaya hidup masyarakat, sementara peningkatan upah minimum dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
Kedua, Mendorong Investasi di Sektor Strategis: Pemerintah perlu fokus mendorong investasi di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi digital, dan industri kreatif. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan insentif fiskal, kemudahan perizinan, dan dukungan infrastruktur.
Ketiga, Meningkatkan Permintaan Ekspor: Pemerintah dapat meningkatkan permintaan ekspor dengan melakukan diversifikasi pasar dan meningkatkan kualitas produk. Diversifikasi pasar ekspor dapat mengurangi ketergantungan pada pasar tertentu dan meningkatkan ketahanan ekonomi.
Peningkatan kualitas produk dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.
Keempat, Mengelola Inflasi: Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian inflasi dengan menggunakan kebijakan moneter yang tepat. Kebijakan moneter yang tepat dapat membantu menjaga stabilitas harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Deflasi merupakan ancaman nyata bagi perekonomian Indonesia. Penurunan harga yang terus-menerus dapat berujung pada penurunan permintaan agregat, penurunan investasi, dan spiral deflasi yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi ancaman deflasi, seperti menerapkan kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif, meningkatkan daya saing produk Indonesia, dan memberikan program subsidi.
Mari kita bersama-sama mengatasi tantangan deflasi dengan menjalankan peran kita masing-masing. Pemerintah harus menjalankan kebijakan yang tepat, pelaku usaha harus meningkatkan daya saing dan inovasi, dan masyarakat harus berkonsumsi secara bijak dan mendukung produk lokal.
Dengan bersama-sama, kita dapat membangun ketahanan ekonomi dan menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi bangsa Indonesia. (*)