Bukittinggi Kini Jorok dan Semrawut
Namun demikian, beberapa tahun belakangan ini Kota Bukittinggi terlihat kurang terpelihara. Dari segi estetika, kota ini kini sudah berkurang keindahannya, termasuk disiplin/keteraturan dan kerapiannya. Dalam bahasa yang lebih vulgar, Bukittinggi sekarang memang terlihat agak jorok dan semrawut, begitu penilaian beberapa orang perantau, termasuk IB seorang warga senior asal Bukittinggi yang bermukim di Kanada tapi sering pulang kampung. Bagi penulis sendiri penilaian ini terasa sangat benar adanya. Jika mau jujur dan mengikuti perkembangan kota ini, maka rasanya susah untuk tidak mengakui penilaian itu, kecuali kalau kita hanya datang dan melihat kawasan di sekitar bawah Jam Gadang dan kawasan Panorama Ngarai Sianok saja yang masih terlihat agak lumayan bersih. Tapi di bawah Jam Gadang terlihat para pedagang asongan tidak dibina dengan baik, mereka berseliweran dan ada di mana-mana. Sehingga mengurangi nilai estetika kawasan tersebut sebagai landmark kota yang sudah punya nama besar.
Judul tulisan ini mungkin agak sedikit menghentak bagi sebahagian orang, tapi memang itulah keadaan Bukittinggi hari ini. Karena tulisan ini terbit menjelang pilkada (pemilihan kepada daerah), sudah tentu ada yang berpikiran bahwa ini adalah bagian dari kampanye untuk pemenangan salah satu kandidat. Terserah! Saya tidak terlalu peduli, karena saya merasa hanya menyuarakan kebenaran, dan saya tidak punya kepentingan pribadi. Lagipun saya tidak begitu kenal dengan para calon. Tulisan-tulisan saya tentang Minangkabau sebelum ini juga sama, berterus terang saja alias “bukak kulik tampak isi”. Semoga tulisan ini tidak dimaknai secara negatif, tapi dapat dijadikan sebagai masukan bagi kepala daerah terpilih, siapapun nanti yang ditakdirkan.
Selain itu, tulisan ini juga bukan pandangan saya pribadi. Sebelum menulis saya melakukan survei, bertanya kepada beberapa orang, khususnya perantau. Karena sebagai perantau kami sering kali membedakan daerah orang dengan daerah kita, kelebihan dan kekurangan kita. Perantau dari tahun ke tahun sering dapat melihat berbagai perubahan di suatu kota. Apa lagi saya ini orang Agam, dan Bukitinggi itu adalah “Koto Rang Agam.” Yang membaca sejarah pasti tahu mengapa Bukittinggi itu Koto Rang Agam. Di samping itu, masa remaja dan sekolah dulu, saya lalui di Kota Bukittinggi. Banyak kenangan saya dengan kota ini, saya mencintai Bukittinggi dan punya tanggung jawab moral untuk ikut serta menjaganya, dan tulisan ini adalah salah satu dari bentuk tanggung jawab tersebut.
Bukittinggi Kurang Aman untuk Pejalan Kaki
Dua tahun belakangan ini, karena satu tugas penelitian saya sering berada di kampung. Pada hari-hari tertentu di pagi hari saya juga sering jalan kaki menelusuri Kota Bukittinggi. Mulai dari Birugo/Lapangan Kantin, saya berjalan di atas trotoar lurus menuju pusat kota. Melewati bangunan penjara lama depan BNI, ikut tikungan ke kanan depan Hotel Antokan. Kemudian terus lagi berjalan melewati terminal angkot IKABE dan Pasar Aue Tajungkang, melintas di bawah Jambatan Gantung Pasar Bawah. Kemudian ke Pasar Banto, terus ke Jalan Pemuda melewati Rumah Potong Hewan sampai ke Simpang Tembok. Lanjut lagi, saya berjalan melewati Rumah Sakit Achmad Mochtar, Gedung RRI, lurus hingga ke Jalan Panorama dan sampailah ke Hotel Ambun Suri depan Gedung DPRD. Pokoknya saya sering mengitari bukit yang di atasnya ada kota ini.
Selanjutnya saya memutar lagi ke kiri mentok di Bioskop Sovia, mutar ke kanan dan kanan lagi hingga sampai dan berhenti di bawah Jam Gadang. Kalau di pagi hari Sabtu atau Minggu, saya juga ikut senam massal di bawah Jam Gadang itu. Pulangnya, saya melewati Pasar Lereng dan singgah untuk menikmati katupek pical di Los Lambuang atau makan pisang panggang di Pasa Ateh. Dari Pasar Lereang, saya menuruni anak tangga yang mentok ke Pasar Aue Tajungkang, belok kanan dan melintas di terminal angkot IKABE. Belok lagi ke kanan depan pagar Masjid Agung Tangah Sawah menelusuri Jalan Syech Arrasuli, nanti keluar di Jalan Stasiun depan kantor pos, dari sana barulah kembali lagi ke Lapangan Kantin. Itulah rute jalan kaki yang sering saya lakukan di Kota Bukittinggi, rata-rata sekitar 13 ribu langkah. Dari pengalaman tersebut, akhirnya saya hafal di mana trotoar yang rusak, atau jalan yang kotor dan berbau bekas orang jualan makanan tadi malam. Atau di mana jalan yang berbahaya karena trotoar dipakai untuk parkir mobil, dan itu semua saya dokumentasikan dengan kamera HP dan masih tersimpan dalam file khusus.
Di sekitar Pasar Banto dua kali saya hampir kesenggol motor yang melaju kencang karena hak pejalan kaki diambil orang untuk parkir mobil. Trotoar di Jalan Pemuda depan Rumah Potong sudah banyak yang rusak. Suatu kali ada seorang tua bertongkat berjalan sendirian dan terpleset di sana, saya bantu dan terpaksa menunggu sampai anaknya datang menjemput. Saya temukan juga para pengendara kita tidak menghargai pejalan kaki. Buktinya, selain parkir mobil di trotoar, di beberapa tempat penyeberangan (zebra cross) saya harus nyebrang sambil berlari, takut kena tabrak.