Keadaan inilah yang membuat saya ingin menulis, namun saya tidak ingin tulisan ini hanya melulu berdasarkan penilaian saya saja, lalu membuat imbauan di berbagai group WhatsApp diaspora Minangkabau. Meminta mereka untuk memberikan masukan tentang kota ini dalam 10 tahun terakhir, banyak yang memberi masukan yang kemudian saya rangkum dalam tulisan ini.
Beberapa Saran dan Masukan Perantau
Pertama, bicara soal pariwisata, ada kesan bahwa para pembuat dan pengambil kebijakan terutama kepala daerah di Bukittinggi tidak begitu paham tentang apa itu pariwisata. Masalah ini sebenarnya merupakan gejala umum di Sumatera Barat, ini bisa terlihat di berbagai lokasi wisata. Karena Bukittinggi adalah barometer pariwisata Sumbar, maka siapapun jadi wali kota punya beban berat sebagai contoh.
Kedua, di Bukittinggi tidak ada kebijakan pemerintah yang berkesinambungan. wali kota lama, Ramlan Nurmatias sudah membangun berbagai fasilitas trotoar yang cantik dan taman-taman untuk keindahan kota, dan itu sudah betul. Tapi sama sekali tidak dirawat oleh Wali Kota Erman Safar sebagai penerus, kecuali kawasan di bawah Jam Gadang, sehingga aset daerah yang dibangun dengan uang rakyat terbuang sia-sia.
Ketiga, soal kebersihan dan perawatan taman dan aset kota. Seorang pemandu wisata dari Malaysia, sebut saja Rahman yang mengaku sering bolak-balik ke Sumbar terutama ke Bukittinggi membenarkan keadaan ini. Katanya, kadang-kadang ada wisatawan yang ingin jalan kaki ke luar kawasan wisata populer, tapi dihalanginya. “Takut nanti mereka menulis yang jelek di media sosial, walaupun yang ditulis tentang kota ini, tapi lama-lama akan berdampak terhadap rezeki saya juga,” katanya sambil ketawa. Menurut Rahman, soal kebersihan dan perawatan ini sangat perlu jadi perhatian. Karena, beberapa tahun belakangan ini terasa keindahan Kota Bukittinggi sangat menurun dan kurang gairah, karena taman-taman dan fasilitas banyak yang tidak terpelihara. “Bagi saya itu terasa ketika mulai memasuki gerbang Kota Bukittinggi setelah Simpang Jambu Air,” kata Rahman lagi.
Soal jorok, kotor dan semrawut ini saya juga punya catatan sendiri dari pengalaman sering berjalan kaki. Kawasan mulai dari Terminal IKABE sampai Pasar Banto dan sekitarnya jelas semrawut. Di Jalan Pemuda depan Rumah Potong, pagi-pagi sering jorok, karena para pedagang kaki lima yang jualan malam hari kurang membersihkan kotoran bekas cuci piring. Hal yang sama juga sering terjadi pada beberapa spot di sepanjang jalan dari Rumah Sakit Achmad Mochtar menuju ke Taman Panorama. Di bahagian lain, taman-taman jalan yang dibangun Ramlan Nurmatias dulu di sepanjang trotoar Jalan Syech Arrasuli, kini kondisinya benar-benar tidak terurus dan sangat memprihatinkan. Bahkan sebuah bangunan halte (bus stop) tempat menunggu kendaraan/oplet di jalan ini dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah (ada dokumentasinya).
Sebenarnya, karena iklim dan udara Bukittinggi yang sangat bersahabat, kota ini sangat potensial untuk wisata jalan kaki seperti di Jepang. Selain jalan berkeliling perbukitan kota, spot-spot yang ada di sekitar Bukittinggi, baik di dalam atau di luar kota, seperti: Great Wall dan Sejuta Jenjang dapat dimanfaatkan. Sayangnya menurut IB, Great Wall awalnya bagus, sekarang kotor karena tidak ada pemeliharaan. Hal yang sama juga terjadi pada spot Sejuta Jenjang, ketika diresmikan dulu sangat ramai pengunjung, ada pentas seni, ada heli-pad, tapi kini juga ikut jorok dan banyak yang hancur. Di Stasiun Lambuang makanannya enak, tapi lingkungan termasuk kebersihan tempat cuci piring perlu diperhatikan.