Oleh: Dirwan Ahmad Darwis
Secara umum, orang berwisata terkait dengan keperluan fisik, emosional, dan sosial. Seperti: a) mencari ketenangan dan kesegaran melepaskan diri dari stres dan rutinitas, b) menambah wawasan dan pengalaman baru, dengan belajar tentang budaya, adat istiadat, dan sejarah suatu masyarakat yang dikunjungi, c) menikmati kebersamaan (quality time) dengan keluarga dan teman, menciptakan kenangan indah bagi mempererat hubungan, d) mencari inpirasi untuk mengembangkan kreativitas pada suasana baru dalam keindahan pemandangan, d) untuk kesehatan dan kebugaran, pada lingkungan dan udara bersih, masyarakat yang ramah dan bersahabat adalah bahagian dari obat alami penyembuh jiwa, e) petualangan dan tantangan, dengan melakukan kegiatan ekstrem untuk menguji batas diri, terutama bagi kaula muda, f) pengalaman kuliner dan belanja adalah juga bahagian dari daya tarik wisata tersendiri, g) termasuk wisata religi atau spiritual seperti mengunjungi tempat-tempat ibadah, atau berziarah dan menelusuri masa lalu seorang tokoh agama dan lainnya.
Pokoknya berwisata memberikan manfaat yang luas bagi kesehatan fisik, mental, dan emosional. Tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan memperkaya pengalaman. Sedangkan bagi daerah tujuan wisata (DTW), kunjungan wisatawan adalah sumber ekonomi dan berbagai informasi. Apabila dikelola dengan baik, akan berdampak ganda (multiplier effects) yang dapat membawa kemakmuran bagi warga dan daerah tersebut.
Bukitinggi Kota Wisata
Kota Bukittinggi sejak dulu memang sudah terkenal di dalam maupun di luar negeri sebagai salah satu daerah tujuan wisata unggulan, bahkan sering disebut sebagai barometer pariwisata Sumatera Barat. Dibandingkan dengan daerah tujuan wisata lainnya, keunggulan Bukittinggi terletak pada kontur tanah yang berbukit-bukit. Sesuai namanya, kawasan utama kota ini terletak di atas bukit (sekitar 930 mdpl), dengan cuacanya cenderung sejuk, memberikan pengalaman wisata menyegarkan, terutama bagi wisatawan dari daerah yang lebih panas. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri, yang membuat Bukittinggi nyaman untuk dikunjungi kapan saja tanpa rasa gerah atau terlalu dingin. Inilah salah satu faktor kunci yang membuat Bukittinggi begitu istimewa dan sulit ditandingi oleh daerah lain di Sumatera Barat, bahkan di Pulau Sumatera ini secara umum.
Kontur tanah yang berbukit juga memberi Bukittinggi pemandangan alam yang dramatis dan indah. Ngarai Sianok, misalnya, menawarkan panorama tebing curam dengan latar belakang Gunung Singgalang yang memukau, membuatnya menjadi spot fotografi yang populer. Kombinasi antara lembah hijau, pegunungan, dan lembah menghasilkan satu lanskap yang unik dan memikat, yang jarang bisa ditemukan di tempat lain dengan skala dan keindahan yang sama.
Selain itu, kota Bukittinggi memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang memikat, seperti keberadaan Jam Gadang sebagai simbol kota. Istana Bung Hatta sebagai penanda bahwa kota ini dulu pernah menjadi ibu kota Indonesia. Selain itu ada Benteng Fort de Kock, Lubang Jepang, Museum Bung Hatta, dan lainnya. Kehadiran sebuah mall pengganti Pasar Atas yang dulu pernah terbakar, serta pemugaran taman Jam Gadang oleh pemerintah sebelumnya membuat titik nol kota ini menjadi semakin menarik wisatawan untuk berkunjung dan mengabadikan kenangan sambil berfoto-foto.
Berdirinya Mall Pasar Atas yang bernuansa modern juga tidak mengganggu pelaku pasar tradisional, sehingga kehadiran mereka di sekitar mall tetap memberikan nuansa tradisi. Ini tentunya termasuk keberadaan pasar tradisi lainnya, seperti Pasar Lereng, termasuk Pasar Bawah yang senantiasa tetap ramai. Bagi wisatawan lokal, terutama para perantau Minangkabau yang pulang kampung, suasana tradisi ini akan mampu membangkitkan kembali kenangan lama mereka.
Bukittinggi Kini Jorok dan Semrawut
Namun demikian, beberapa tahun belakangan ini Kota Bukittinggi terlihat kurang terpelihara. Dari segi estetika, kota ini kini sudah berkurang keindahannya, termasuk disiplin/keteraturan dan kerapiannya. Dalam bahasa yang lebih vulgar, Bukittinggi sekarang memang terlihat agak jorok dan semrawut, begitu penilaian beberapa orang perantau, termasuk IB seorang warga senior asal Bukittinggi yang bermukim di Kanada tapi sering pulang kampung. Bagi penulis sendiri penilaian ini terasa sangat benar adanya. Jika mau jujur dan mengikuti perkembangan kota ini, maka rasanya susah untuk tidak mengakui penilaian itu, kecuali kalau kita hanya datang dan melihat kawasan di sekitar bawah Jam Gadang dan kawasan Panorama Ngarai Sianok saja yang masih terlihat agak lumayan bersih. Tapi di bawah Jam Gadang terlihat para pedagang asongan tidak dibina dengan baik, mereka berseliweran dan ada di mana-mana. Sehingga mengurangi nilai estetika kawasan tersebut sebagai landmark kota yang sudah punya nama besar.
Judul tulisan ini mungkin agak sedikit menghentak bagi sebahagian orang, tapi memang itulah keadaan Bukittinggi hari ini. Karena tulisan ini terbit menjelang pilkada (pemilihan kepada daerah), sudah tentu ada yang berpikiran bahwa ini adalah bagian dari kampanye untuk pemenangan salah satu kandidat. Terserah! Saya tidak terlalu peduli, karena saya merasa hanya menyuarakan kebenaran, dan saya tidak punya kepentingan pribadi. Lagipun saya tidak begitu kenal dengan para calon. Tulisan-tulisan saya tentang Minangkabau sebelum ini juga sama, berterus terang saja alias “bukak kulik tampak isi”. Semoga tulisan ini tidak dimaknai secara negatif, tapi dapat dijadikan sebagai masukan bagi kepala daerah terpilih, siapapun nanti yang ditakdirkan.
Selain itu, tulisan ini juga bukan pandangan saya pribadi. Sebelum menulis saya melakukan survei, bertanya kepada beberapa orang, khususnya perantau. Karena sebagai perantau kami sering kali membedakan daerah orang dengan daerah kita, kelebihan dan kekurangan kita. Perantau dari tahun ke tahun sering dapat melihat berbagai perubahan di suatu kota. Apa lagi saya ini orang Agam, dan Bukitinggi itu adalah “Koto Rang Agam.” Yang membaca sejarah pasti tahu mengapa Bukittinggi itu Koto Rang Agam. Di samping itu, masa remaja dan sekolah dulu, saya lalui di Kota Bukittinggi. Banyak kenangan saya dengan kota ini, saya mencintai Bukittinggi dan punya tanggung jawab moral untuk ikut serta menjaganya, dan tulisan ini adalah salah satu dari bentuk tanggung jawab tersebut.
Bukittinggi Kurang Aman untuk Pejalan Kaki
Dua tahun belakangan ini, karena satu tugas penelitian saya sering berada di kampung. Pada hari-hari tertentu di pagi hari saya juga sering jalan kaki menelusuri Kota Bukittinggi. Mulai dari Birugo/Lapangan Kantin, saya berjalan di atas trotoar lurus menuju pusat kota. Melewati bangunan penjara lama depan BNI, ikut tikungan ke kanan depan Hotel Antokan. Kemudian terus lagi berjalan melewati terminal angkot IKABE dan Pasar Aue Tajungkang, melintas di bawah Jambatan Gantung Pasar Bawah. Kemudian ke Pasar Banto, terus ke Jalan Pemuda melewati Rumah Potong Hewan sampai ke Simpang Tembok. Lanjut lagi, saya berjalan melewati Rumah Sakit Achmad Mochtar, Gedung RRI, lurus hingga ke Jalan Panorama dan sampailah ke Hotel Ambun Suri depan Gedung DPRD. Pokoknya saya sering mengitari bukit yang di atasnya ada kota ini.
Selanjutnya saya memutar lagi ke kiri mentok di Bioskop Sovia, mutar ke kanan dan kanan lagi hingga sampai dan berhenti di bawah Jam Gadang. Kalau di pagi hari Sabtu atau Minggu, saya juga ikut senam massal di bawah Jam Gadang itu. Pulangnya, saya melewati Pasar Lereng dan singgah untuk menikmati katupek pical di Los Lambuang atau makan pisang panggang di Pasa Ateh. Dari Pasar Lereang, saya menuruni anak tangga yang mentok ke Pasar Aue Tajungkang, belok kanan dan melintas di terminal angkot IKABE. Belok lagi ke kanan depan pagar Masjid Agung Tangah Sawah menelusuri Jalan Syech Arrasuli, nanti keluar di Jalan Stasiun depan kantor pos, dari sana barulah kembali lagi ke Lapangan Kantin. Itulah rute jalan kaki yang sering saya lakukan di Kota Bukittinggi, rata-rata sekitar 13 ribu langkah. Dari pengalaman tersebut, akhirnya saya hafal di mana trotoar yang rusak, atau jalan yang kotor dan berbau bekas orang jualan makanan tadi malam. Atau di mana jalan yang berbahaya karena trotoar dipakai untuk parkir mobil, dan itu semua saya dokumentasikan dengan kamera HP dan masih tersimpan dalam file khusus.
Di sekitar Pasar Banto dua kali saya hampir kesenggol motor yang melaju kencang karena hak pejalan kaki diambil orang untuk parkir mobil. Trotoar di Jalan Pemuda depan Rumah Potong sudah banyak yang rusak. Suatu kali ada seorang tua bertongkat berjalan sendirian dan terpleset di sana, saya bantu dan terpaksa menunggu sampai anaknya datang menjemput. Saya temukan juga para pengendara kita tidak menghargai pejalan kaki. Buktinya, selain parkir mobil di trotoar, di beberapa tempat penyeberangan (zebra cross) saya harus nyebrang sambil berlari, takut kena tabrak.
Keadaan inilah yang membuat saya ingin menulis, namun saya tidak ingin tulisan ini hanya melulu berdasarkan penilaian saya saja, lalu membuat imbauan di berbagai group WhatsApp diaspora Minangkabau. Meminta mereka untuk memberikan masukan tentang kota ini dalam 10 tahun terakhir, banyak yang memberi masukan yang kemudian saya rangkum dalam tulisan ini.
Beberapa Saran dan Masukan Perantau
Pertama, bicara soal pariwisata, ada kesan bahwa para pembuat dan pengambil kebijakan terutama kepala daerah di Bukittinggi tidak begitu paham tentang apa itu pariwisata. Masalah ini sebenarnya merupakan gejala umum di Sumatera Barat, ini bisa terlihat di berbagai lokasi wisata. Karena Bukittinggi adalah barometer pariwisata Sumbar, maka siapapun jadi wali kota punya beban berat sebagai contoh.
Kedua, di Bukittinggi tidak ada kebijakan pemerintah yang berkesinambungan. wali kota lama, Ramlan Nurmatias sudah membangun berbagai fasilitas trotoar yang cantik dan taman-taman untuk keindahan kota, dan itu sudah betul. Tapi sama sekali tidak dirawat oleh Wali Kota Erman Safar sebagai penerus, kecuali kawasan di bawah Jam Gadang, sehingga aset daerah yang dibangun dengan uang rakyat terbuang sia-sia.
Ketiga, soal kebersihan dan perawatan taman dan aset kota. Seorang pemandu wisata dari Malaysia, sebut saja Rahman yang mengaku sering bolak-balik ke Sumbar terutama ke Bukittinggi membenarkan keadaan ini. Katanya, kadang-kadang ada wisatawan yang ingin jalan kaki ke luar kawasan wisata populer, tapi dihalanginya. “Takut nanti mereka menulis yang jelek di media sosial, walaupun yang ditulis tentang kota ini, tapi lama-lama akan berdampak terhadap rezeki saya juga,” katanya sambil ketawa. Menurut Rahman, soal kebersihan dan perawatan ini sangat perlu jadi perhatian. Karena, beberapa tahun belakangan ini terasa keindahan Kota Bukittinggi sangat menurun dan kurang gairah, karena taman-taman dan fasilitas banyak yang tidak terpelihara. “Bagi saya itu terasa ketika mulai memasuki gerbang Kota Bukittinggi setelah Simpang Jambu Air,” kata Rahman lagi.
Soal jorok, kotor dan semrawut ini saya juga punya catatan sendiri dari pengalaman sering berjalan kaki. Kawasan mulai dari Terminal IKABE sampai Pasar Banto dan sekitarnya jelas semrawut. Di Jalan Pemuda depan Rumah Potong, pagi-pagi sering jorok, karena para pedagang kaki lima yang jualan malam hari kurang membersihkan kotoran bekas cuci piring. Hal yang sama juga sering terjadi pada beberapa spot di sepanjang jalan dari Rumah Sakit Achmad Mochtar menuju ke Taman Panorama. Di bahagian lain, taman-taman jalan yang dibangun Ramlan Nurmatias dulu di sepanjang trotoar Jalan Syech Arrasuli, kini kondisinya benar-benar tidak terurus dan sangat memprihatinkan. Bahkan sebuah bangunan halte (bus stop) tempat menunggu kendaraan/oplet di jalan ini dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah (ada dokumentasinya).
Sebenarnya, karena iklim dan udara Bukittinggi yang sangat bersahabat, kota ini sangat potensial untuk wisata jalan kaki seperti di Jepang. Selain jalan berkeliling perbukitan kota, spot-spot yang ada di sekitar Bukittinggi, baik di dalam atau di luar kota, seperti: Great Wall dan Sejuta Jenjang dapat dimanfaatkan. Sayangnya menurut IB, Great Wall awalnya bagus, sekarang kotor karena tidak ada pemeliharaan. Hal yang sama juga terjadi pada spot Sejuta Jenjang, ketika diresmikan dulu sangat ramai pengunjung, ada pentas seni, ada heli-pad, tapi kini juga ikut jorok dan banyak yang hancur. Di Stasiun Lambuang makanannya enak, tapi lingkungan termasuk kebersihan tempat cuci piring perlu diperhatikan.
Penutup
Sebagai penutup dapat disimpulkan, Kota Bukittinggi yang dikenal sebagai destinasi wisata utama di Sumatera Barat, lima tahun belakangan ini mengalami penurunan kualitas dalam hal kebersihan, estetika, dan pengelolaan tata kota. Minimnya perawatan fasilitas umum dan ketidaktertiban pedagang kaki lima serta harga parkir yang kurang fair dan tidak standar telah membuat kota ini menjadi kurang nyaman bagi wisatawan. Hal ini ditenggarai karena adanya sentimen politik antarpemimpin yang berdampak kerugian terhadap masyarakat.
Disarankan, a) siapapun nanti yang terpilih jadi pemimpin, agar menghilangkan sentimen, dendam, dan kecemburuan politik. Agar bersikap kreatif menjadikan produk lawan politik menjadi keuntungan tersendiri; b) Meningkatkan kesadaran terhadap kebersihan dan pemeliharaan fasilitas umum; c) Melakukan penataan terhadap pedagang kaki lima di area khusus agar tidak mengganggu keindahan kota; d) Tegakkan aturan parkir yang adil, menyenangkan dan bersahabat; d) Melalui berbagai slogan, pemerintah dapat memanfaatkan berbagai media untuk mendidik masyarakat, agar para pengendara kendaraan bermotor menghormati hak pejalan kaki, terutama di zebra cross untuk keamanan dan keselamatan; e) Terapkan konsep wisata yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat; f) Pastikan pemangku kebijakan benar-benar paham tentang pentingnya pariwisata bagi kemajuan Bukittinggi ke depan.
Saya pribadi bermimpi, suatu ketika Bukittinggi menjadi kota wisata sejarah dan budaya. Dalam radius tertentu dan dalam jam tertentu kendaraan pribadi tidak boleh masuk pusat kota. Hanya ada bis kota khusus seperti di Jakarta yang berhenti di halte tertentu, dan setiap sekian menit seperti di Singapura. Semoga Bukittinggi kembali bisa menjadi destinasi yang nyaman dan menarik bagi wisatawan. Terima kasih. (*)
Catatan: Dirwan Ahmad Darwis merupakan pemikir sosio budaya yang kini tinggal di Kuala Lumpur, Malaysia.