Ketiga, akomodasi. Darmawi menyebut, akomodasi untuk pariwisata di Sumbar saat ini memang masih kurang sekitar 30 persen lagi. Contohnya saja saat Lebaran kemarin, banyak wisatawan yang mencari tempat menginap, sementara homestay dan penginapan yang ada sudah penuh.
Alhasil banyak rumah penduduk yang jadi homestay dadakan. Padahal ini peluang besar. Keempat penyakit masyarakat. Pertama di rumah makan yang tidak mampu membuat daftar harga yang jelas dan pasti. Sehingga banyak wisatawan yang menyebut seperti dipakuak, tidak ada ditulis berapa harganya diawal.
Itu bisa disebut juga penipuan “mangicuah” kepada pelanggan. “Padahal bisa dibuat papan harganya, sepotong rendang berapa, sambal lado berapa. Kalaupun ada tambahan pajak dan biaya servis bisa ditambahkan. Sekalipun mahal, tapi yang jelas berjelas-jelas itu lebih baik,” ujarnya.
Lalu ada premanisme atau urang bagak. Atau istilahnya dibahasa Minang badan gadang utak ketek. Pemalakan ini harus dibabat habis, agar pariwisata kita aman. Kelima, manajemen operasional. Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM), toilet, keamanan, rambu-rambu dan imbauan. Bagaimana dari segi fasilitas mumpuni, safety dan layak jual wisata di Sumbar.
“Lima persoalan ini secara garis besar masalah pariwisata kita. Kita sudah dianugerahi bentang alam yang indah, tinggal tugas kita menjaganya lagi. Bukan hanya tanggungjawab pemerintah seorang, sebab kapan pemerintah kita akan mengurai persoalan itu satu persatu. Tapi yang bisa kita bantu, bagaimana peran kita sebagai masyarakat, pelaku pariwisata turut mendorong kemajuan pariwisata kita,” ucapnya. (*)
Berita ini telah terbit di Liputan Eksklusif EDISI SABTU Koran Harian Umum Haluan, 04 Juni 2022 dengan judul “Berwisata Nyaman dan Aman di Sumbar”.