Teks foyo : Salah satu atraksi kesenian musik tradisional dari Desa Wisata Pagadih, Kabupaten Agam, beberapa waktu lalu. IST
PADANG, HARIANHALUAN.ID — Pada 2024 lalu, Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) berhasil menyumbangkan 34 desa wisatanya dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Penghargaan ini prestisius dan bisa dikatakan puncaknya penyelenggaraan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (kini dipisah menjadi Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif).
Bagi Sumbar sendiri, ini tentu sebuah pencapaian yang positif, di mana sumbangsih desa wisatanya mengalami peningkatan. Pada 2023 lalu, ada 27 desa wisata yang masuk ADWI, dan kini meningkat menjadi 34 desa wisata. Peningkatan jumlah ini tentunya menjadi keuntungan bagi Sumbar dan desa wisatanya, karena semakin menguatkan status dan brand-nya sebagai desa wisata yang benar-benar layak dikunjungi oleh wisatawan.
Meski termasuk penghargaan puncak oleh kementerian terkait, tapi tentu tidak bagi desa wisatanya. Justru, penghargaan ini mengharuskan desa wisata untuk semakin lebih baik lagi. Mulai dari peningkatan status desa wisata (rintisan, berkembang, maju dan mandiri) hingga kompleksitasnya dalam memenuhi standar pariwisata dari adanya desa wisata itu sendiri.
Namun timbul pertanyaan, pasca-ADWI ini, adakah desa wisata itu semakin baik? Sederhananya saja, bila desa wisata dapat penghargaan ADWI, tentu desa wisata itu dalam kepala kita sudah wah. Wah destinasinya, wah fasilitasnya, wah sarana dan prasarananya, dan banyak wah-nya.
Atau justru sebaliknya, penghargaan itu sebatas formalitas untuk memberi tekanan kepada desa wisata dan daerahnya untuk terus berbenah menjadi desa wisata yang semakin baik, agar desa wisata itu benar memberi dampak kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Sumbar, Luhur Budianda menjelaskan, pengembangan desa wisata sangat bergantung kepada komitmen pemerintah kabupaten/kota masing-masing, terlebih pada status desa wisata rintisan dan berkembang. Sehingga kekuatan utama dari pengembangan desa wisata itu memang dilihat dari pemerintah daerahnya masing-masing.
“Nah, desa wisata kita yang pernah meraih prestasi di ajang ADWI tahun-tahun sebelumnya itu, berada di kategori maju atau mandiri. Di sinilah peran provinsi untuk memberikan dukungan pengembangan lebih lanjut. Makanya kita sangat berharap kepada kabupaten/kota untuk menggarap desa wisatanya lebih serius,” katanya kepada Haluan, Jumat (28/2).
Ia menuturkan, syarat mutlak berdirinya desa wisata adalah adanya kelembagaan pokdarwis yang kuat dan di-SK-kan oleh wali nagarinya. Dalam prosesnya, pembinaan pokdarwis pada tahap awal dilakukan oleh dinas pariwisata kabupaten/kota.
Jika alokasi anggaran mencukupi dan memungkinkan, Dinas Pariwisata Sumbar juga tidak jarang ikut memfasilitasi bimbingan teknis (bimtek) pokdarwis. Biasanya, kegiatan ini diselenggarakan melalui alokasi dana Pokok Pikiran (Pokir) anggota DPRD.
“Setelah pokdarwis berdiri, pembinaan secara berkelanjutan diharapkan dilakukan melalui program pemerintah kabupaten/kota selaku pemilik destinasi. Maupun oleh perguruan tinggi yang juga memiliki kewajiban melakukan Tridharma Perguruan Tinggi atau pengabdian” ucapnya.
Sehingga, pengembangan desa wisata di masing-masing daerah yang masih berstatus rintisan dan berkembang, memang sangat bergantung kepada kebijakan kepala daerahnya. Dalam pengembangannya desa wisata tak cukup dengan pengelolaan oleh satu atau dua pihak saja, akan tetapi harus digerakkan secara bersama oleh pemerintah daerah hingga ke tingkatan bawah sekalipun.
Dalam upaya menyamai pemahamannya, kata Luhur, pihaknya saat ini sedang merancang masterplan pengembangan desa wisata. Dokumen ini nantinya akan memperjelas bagaimana peran pemerintah provinsi, kabupaten/kota, maupun nagari.
Dengan adanya masterplan tersebut, Kadispar Sumbar itu berharap pemerintah di segala tingkatan akan punya visi yang sama dan jelas terkait masa depan dan potensi pengembangan desa wisata. Termasuk strategi penguatan pokdarwis yang menjadi ujung tombak dalam menggairahkan desa wisatanya.
Andaipun desa wisata memiliki investor dan mendapatkan pendanaan lain sekalipun, tapi apalah arti bantuan dan pendanaan itu, baik pengembangan, sarana prasarana, dan bantuan lain, jika pemerintah nagari maupun kabupaten/kota selaku pemilik desa wisata sendiri tidak punya arah yang jelas dalam mengembangkan desa wisatanya masing-masing.
“Adanya dokumen ini memang kita harapkan tidak ada lagi desa wisata yang perkembangannya stagnan. Tapi harus berkelanjutan. Maka dari itu, sangat dibutuhkan komitmen dari seluruh unsur pemerintahan di segala level untuk desa wisata ini,” pungkasnya. (*)