PADANG, HARIANHALUAN.ID — Geliat sektor pariwisata dan ekonomi kreatif (ekraf) yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung perekonomian masyarakat dan daerah Sumatra Barat (Sumbar), masih berkutat dengan sejumlah persoalan dan tantangan klasik mendasar nan tak kunjung selesai.
Mulai dari belum optimalnya pengelolaan destinasi wisata berkelanjutan di kabupaten/kota, minimnya upaya digitalisasi promosi pemasaran, dan belum adanya dukungan modal bagi para pelaku ekraf di tengah kebijakan efisiensi anggaran masih menjadi pekerjaan rumah luar biasa bagi seluruh pentahelix pariwisata Ranah Minang.
Semua persoalan dan tantangan yang membayangi optimalisasi potensi pariwisata dan ekraf di Ranah Minang ini menjadi pembahasan serius dalam forum penyusunan Rencana Strategis Pariwisata Sumatra Barat 2025–2029, yang digelar Dinas Pariwisata (Dispar) Sumbar dan diikuti jajaran bersama kabupaten/kota, akademisi, pelaku usaha, praktisi dan Asosiasi Usaha Pariwisata dan Ekonomi Kreatif se-Sumbar, Kamis (10/7) kemarin.
Kepala Dispar Sumbar, Luhur Budianda mengungkapkan, Pemprov Sumbar di bawah kepemimpinan Gubernur Mahyeldi dan Wakil Gubernur Vasco telah menjadikan peningkatan daya saing pariwisata dan percepatan ekraf sebagai salah satu misi utama dalam Renstra 2025–2029 tersebut.
Pemprov Sumbar bahkan telah menargetkan peningkatan kontribusi sektor pariwisata dan ekraf terhadap ekonomi daerah sesuai dengan misi ketujuh RPJMD, yaitu Meningkatkan Daya Saing Pariwisata dan Akselerasi Ekonomi Kreatif untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Namun tantangan terbesar kita terletak pada sisi anggaran. Paling tidak, situasi di tahun 2026 nanti masih akan mirip dengan tahun 2025, efisiensi masih akan berjalan. Menkeu bahkan menyatakan bahwa di tahun 2026 defisit mencapai 600 trilliun rupiah. Ini menjadi tantangan bagi kita semua,” ujarnya.