PADANG, HARIANHALUAN.ID — Enam bulan penerapan kebijakan efisiensi anggaran oleh pemerintah berdampak signifikan terhadap sektor pariwisata di Sumatera Barat (Sumbar), terutama industri perhotelan.
Penurunan tajam okupansi dan omzet dirasakan hampir merata oleh pelaku usaha, terutama karena hilangnya kegiatan Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) yang selama ini menjadi andalan pemasukan.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar, Rina Pangeran, menyampaikan bahwa sektor perhotelan termasuk yang paling terdampak. “Perhotelan sangat terdampak. Sebab, tamu terbesar kami berasal dari kalangan pemerintahan yang mengadakan ivent MICE,” ujar Rina kepada Haluan, belum lama ini.
Ia menyebut, penurunan penjualan dan omzet hotel akibat ketiadaan kegiatan MICE mencapai 50 hingga 60 persen. “Pendapatan hotel itu kan dari penjualan kamar dan makanan. Saat kegiatan itu hilang, otomatis penjualan juga lenyap,” katanya.
Rina menjelaskan bahwa tamu dari instansi pemerintahan biasanya menjadi pengisi utama kamar hotel di hari kerja. Namun sejak enam bulan terakhir, kegiatan tersebut nyaris tidak ada.
“Dulu hampir setiap minggu ada acara instansi pemerintah atau kementerian. Sekarang, hotel-hotel kekurangan tamu di hari biasa. Wisatawan umum baru datang saat akhir pekan dan itu tidak cukup untuk menutup kekurangan,” tuturnya.
Di tengah situasi sulit, pihak hotel berupaya bertahan dengan menyasar segmen korporasi non-pemerintah. Namun, potensi pasar tersebut dinilai masih terbatas. “Untuk Sumbar, segmen korporasi jumlahnya kecil. Kontribusi terbesar tetap dari kegiatan pemerintah, baik pusat maupun daerah,” kata Rina.
Kondisi ini juga memaksa pengelola hotel melakukan efisiensi internal, termasuk penyesuaian jadwal kerja karyawan. “Ada kontrak yang tidak diperpanjang, ada daily worker yang belum dipanggil kembali. Manajemen harus bijak agar operasional tetap berjalan dan karyawan bisa tetap bekerja,” ujarnya.