Makanya, religi ataupun tidak religi cukup branding saja, jangan menjadikan kita nanti bersikap ada yang religi ada yang tidak. Di dalam mempraktekannya, iven ataupun agenda yang tidak religi juga tidak boleh orang melanggar aturan agama di ranah minang.
Misalnya di pasar pabukoan selama Ramadan, dibuat hal-hal unik yang menarik minat pariwisata. Itu tidak ada masalahnya, selama masih dalam batasan-batasan yang dibenarkan syara’. Hanya saja, jika nanti perkara religi dan tidak religi itu hanya dinas pariwisata yang menentukan, itu berbahaya nanti.
Makanya saya berharap Dinas Pariwisata tidak bermain sendiri dalam perkara pariwisata religi dan tidak religi itu. Dia bawa dan diikutkan MUI dalam melakukan identifikasi. Jangan sampai nanti ada kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan syariat, tapi dilabel wisata religi.
Jika sudah dibesarkan jadi pariwisata religi, siapa yang akan menanggung akibatnya. Mungkin bagi sebagian orang hanya rugi materil, tapi bagi ulama kerugian itu tidak sebatas kerugian materil, tapi ada yang lebih besar. Kalau sudah agama yang terfitnah dan nilai-nilai yang harus dipertahankan dalam hidup ini yang hilang, sudah berbahaya.
Apa saran dan rekomendasi MUI untuk pengembangan wisata religi dan wisata halal di Sumbar?
Jadi kuncinya duduk bersama. Jangan religi dan tidak religi hanya diukur dari bentuk lahiriah dan orang-orang tidak paham apakah benar-benar berdasarkan syariah atau tidak. Makanya, awalnya pariwisata syariah.