LIPUTAN EKSKLUSIF: Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar, Wisata Halal Jangan Hanya Jadi Branding

MUI Sumbar

Ketua MUI Sumbar Buya Gusrizal Gazahar

Sebagai negeri pemilik filosofi ABS-SBK, Sumbar punya potensi besar mengembangkan wisata religi dan wisata halal. Bagaimana pandangan MUI dalam pengembangan sektor pariwisata religi dan wisata halal di Sumbar?

Pertama, tentu kita menyetujui pariwisata adalah salah satu sumber pendapatan di Sumbar. MUI sangat memahami dan karena itu Pemerintah Sumbar dan pihak-pihak terkait untuk memajukan pariwisata adalah hal yang bagus dan secara prinsipnya adalah hal yang baik untuk pengembangan perekonomian.

Kedua, istilah wisata religi adalah branding. Kalau kita bicara dalam konteks Sumbar semestinya semua gerakan pariwisata harus sesuai dengan falsafah. Tentu seluruh pariwisata mengacu kepada ABS-SBK.

Jangan sampai nanti ada wisata religi dan non religi, selama kita masih terus mendengungkan ABS-SBK itu. Jadi istilah religi dan tidak religi itu hanya branding saja.

Selain melihat objek wisata religi dan menikmati wisata halal, apakah ada agenda-iven religi/agama yang bisa jadi daya tarik wisatawan datang ke Sumbar Buya?

Saya melihat tidak hanya wisata religi, tapi seluruh pariwisata kita harus menampilkan ABS-SBK kita. Apapun agenda yang akan dibuat semestinya seluruhnya religi. Karena Sumbar ini bumi yang berfalsafah ABS-SBK.

Makanya, religi ataupun tidak religi cukup branding saja, jangan menjadikan kita nanti bersikap ada yang religi ada yang tidak. Di dalam mempraktekannya, iven ataupun agenda yang tidak religi juga tidak boleh orang melanggar aturan agama di ranah minang.

Misalnya di pasar pabukoan selama Ramadan, dibuat hal-hal unik yang menarik minat pariwisata. Itu tidak ada masalahnya, selama masih dalam batasan-batasan yang dibenarkan syara’. Hanya saja, jika nanti perkara religi dan tidak religi itu hanya dinas pariwisata yang menentukan, itu berbahaya nanti.

Makanya saya berharap Dinas Pariwisata tidak bermain sendiri dalam perkara pariwisata religi dan tidak religi itu. Dia bawa dan diikutkan MUI dalam melakukan identifikasi. Jangan sampai nanti ada kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan syariat, tapi dilabel wisata religi.

Jika sudah dibesarkan jadi pariwisata religi, siapa yang akan menanggung akibatnya. Mungkin bagi sebagian orang hanya rugi materil, tapi bagi ulama kerugian itu tidak sebatas kerugian materil, tapi ada yang lebih besar. Kalau sudah agama yang terfitnah dan nilai-nilai yang harus dipertahankan dalam hidup ini yang hilang, sudah berbahaya.

Apa saran dan rekomendasi MUI untuk pengembangan wisata religi dan wisata halal di Sumbar?

Jadi kuncinya duduk bersama. Jangan religi dan tidak religi hanya diukur dari bentuk lahiriah dan orang-orang tidak paham apakah benar-benar berdasarkan syariah atau tidak. Makanya, awalnya pariwisata syariah.

Lalu diubah wisata halal, karena masih banyak orang yang khawatir kalau label itu digunakan, malah tidak akan menunjang kepariwisataan. Saya juga berpikir kenapa pariwisata kita jadi tumpul kalau dikaitkan dengan Islam. Nah itu.

Soal kebersihan di Sumbar, masih jadi tantangan, termasuk kebersihan masjid dan musala. Bagaimana MUI melihat tantangan ini? Apa solusinya?

Kalau masalah kebersihan seharusnya tidak fokus ke masjid saja. Masjid dan kondisi di masyarakat itu cerminan keseluruhan. Namun dalam hal ini, kita harus betul-betul meningkatkan budaya bersih itu.

Kalau dalam agama sudah jelas-jelas kebersihan itu sebagian dari iman. Saya rasa ini perlu ditanamkan dan perlu kerja sama juga. Memang pengurus masjid kita amanahkan salah satunya menjaga keindahan dan kebersihan. Tetapi kalau masyarakat tidak sama-sama menjaga, apakah akan mampu pengurus sendiri.

Tenaga kebersihan masjid juga terbatas. Jadi kita harus meningkatkan budaya kebersihan terutama di masjid. Setidaknya sudah ada masjid-masjid tertentu yang menerapkan. Perlu diekspos agar menjadi contoh teladan.

Kemudian perlu dipahami bahwa budaya bersih itu harus ditanamkan dengan pemahaman, edukasi apa manfaat dan dampaknya kalau tidak bersih. Penjelasan seperti itu masih belum maksimal. Jangankan masjid, kota saja banyak yang kotor padahal ada petugas kebersihannya. Kebersihan itu seluruh kita harus meningkatkan budaya bersih.

Imbauan MUI untuk pemangku kepentingan pariwisata di daerah ini, lebih khusus untuk ulama dan tokoh masyarakat dalam pengembangan wisata di daerah ini?

Karena itu, ketika akan menerapkan kepada kegiatan kepariwisataan. Kita meminta pihak-pihak terkait duduk bersama dalam penerapannya, MUI khususnya. Karena pariwisata halal itu, MUI yang lebih pertama kali meminta kepada Dinas Pariwisata.

Sampai saat ini, MUI belum ada dibawa duduk dalam kelembagaan tentang bagaimana buah dari usaha mulai dari perda dahulu sampai sekarang akan dibuat pergubnya. Memang ada tim MUI yang diutus di dalamnya, tapi sudah berulang kali saya meminta kepada Dinas Pariwisata, agar output dari tim dahulu itu dibicarakan dengan pihak terkait. Termasuk dalam hal itu MUI.

Karena efek dari pariwisata itu nanti semuanya positif dan negatifnya kita yang menanggung semua. Saya berharap sesegera mungkin dilakukan. Apa yang dilakukan dengan religi dan tidak religi itu. Jangan nanti religi itu wisata kuburan jadinya. Jadi memang perlu berbicara.

Maaf saja, saya sudah berulang kali menyampaikan kepada ketua komisi dari MUI yang ikut di dalam perumusannya, tapi ada keengganan untuk bertemu dengan MUI. Ada apa masalahnya. Ada beberapa hal yang saya kritisi. Termasuk isu seperti adanya influencer tentang pariwisata di Sumbar yang termasuk dalam kelompok LGBT itu. Isu itu sudah disampaikan kepada gubernur agar diperiksa.

Di satu sisi kita khawatir dengan LGBT itu, tapi kenapa di sisi lain yang demikian diberi ruang. Intinya saya minta sebelum kita bicara tentang pariwisata religi, tidak religi, ayo implementasinya duduk dulu kita bersama. Tidak perlu juga menghindar dari MUI.

MUI Sumbar sangat rasional dan sangat memahami bahwa sektor perekonomian kita salah satunya berasal dari pariwisata. Dan kita semua ingin memajukan sektor itu. Jangan nanti setelah terlanjur melangkah baru kita bicarakan.

Ke depan supaya suatu program pemerintah itu didukung oleh seluruh pihak, kuncinya adalah terbuka dan dibicarakan bersama. Jangan risih atau menghindar ketika diingatkan. Karena ini negeri kita bersama. Itu yang saya harapkan. Jadi saya belum tau gambarannya pariwisata yang religi dan yang tidak religi itu seperti apa.

Dan perlu digambarkan di situ, yang pertama sekali membawa konsep wisata halal ini ke dalam tenda Sumbar melalui Dinas Pariwisata adalah MUI. MUI sebenarnya juga tidak ada kepentingan di situ selain menjaga agar dampak negatif bisa diantisipasi. MUI sudah mengingatkan dari awal. Tapi banyak orang merasa apa yang diingatkan MUI menghambat pengembangan pariwisata.

Kita sepakat sama-sama membangun negeri ini, sektor-sektor yang mendatangkan pemasukan untuk daerah agar kita saling memahami. Tapi tolong didengar juga saran-saran dari ulama. Tentu kita tidak bermaksud menggurui pariwisata atau tidak memahami bahwa pariwisata adalah salah satu sumber pemasukan. Bukan kesana.

Kemudian terkait perkara halal juga berjalan terus. Walaupun akhir-akhir ini ada sedikit gangguan untuk sertifikasi halal terkait regulasi dan lain-lain. MUI tetap berkomitmen untuk berusaha agar kuliner di Sumbar dan produk UMKM disertifikasi halal. Sehingga masyarakat yang menikmati suasana pariwisata, kalau wisatawan butuh kenang-kenangan ataupun kuliner termasuk souvenir sudah bersertifikat halal. (*)

Exit mobile version