“Jawaban dari pihak KAN bahwa tanah itu milik nagari dan BUMDes boleh mengelolanya. Selagi digunakan untuk kegiatan ekonomi masyarakat, aman,” ujarnya.
Setelah memastikan status tanah area Desa Wisata Apar dan menyelesaikan program pembangunan jembatan, Fadel merasa bisa bernapas lega. Pada Maret tahun 2021, destinasi wisata tersebut dibuka dengan pengelolaan yang lebih baru.
“Kami mulai menjalankan pungutan retribusi, dengan hitungan tiket masuk Rp3000 per orang. Begitu juga dengan pengadaan petugas kebersihan yang sebelumnya dikerjakan BUMDes langsung,” tuturnya.
Ia menerangkan, pada tahun itu, Desa Wisata Apar berhasil memperoleh pendapatan Rp100 juta dari pungutan tiket masuk. Dana tersebut, sebanyak sepuluh persen disetor kepada pemerintah kota dalam bentuk pajak. “Selain membayar pajak, uang tersebut juga digunakan untuk perawatan kawasan dan gaji petugas kebersihan serta petugas tiket,” ucapnya.
Fadel dengan bangga mengatakan, sejauh ini kawasan Desa Wisata itu telah disambangi beberapa menteri. Salah satunya adalah Menteri Kelautan dan Perikanan yang berkunjung pada Juni 2021 sekaligus meresmikan wisata tersebut. “Pada bulan yang sama Desa Wisata Apar ikut ADWI. Tujuan awal kami untuk mengenalkan wisata ini secara meluas kepada masyarakat,” katanya.
Desa Wisata Apar berhasil meraih puncak kejayaan pada Ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) itu sebagai peraih Juara 3 Kategori Desa Digital. Sayangnya, kejayaan itu tidak berlangsung lama karena masyarakat dan pemuda setempat kembali melakukan penolakan.