Usai Festival Rakyat Muaro Padang Terlaksana, Potensi Wisata Sejarah Padang Old Town Harus Digarap

PADANG, HARIANHALUAN.ID– Penyelenggaraan festival Rakyat Muaro Padang tidak boleh dibiarkan hanya menjadi sekedar event daya tarik alternatif seremonial bagi perantau dan wisatawan pasca libur lebaran saja.

Lebih dari itu, penyelenggaraan festival bertajuk Padang Tempoe’ Doeloe’ ini, harus menjadi penanda awal keseriusan pemerintah Kota Padang untuk menggarap serta mengelola potensi destinasi wisata sejarah (Heritage Tourism) yang terkandung dikawasan Kota Tua Padang.

Masukan itu disampaikan pakar Pariwisata dari Universitas Muhammadiyah (UM) Sumatra Barat Mochammad Abdi menyikapi diselenggarakannya festival rakyat Muaro Padang di selama tiga hari di sekitaran tepian Sungai Batang Arau dan Kawasan Kota Tua Padang pada Jumat hingga Minggu (19-21/4) baru-baru ini.

Abdi menilai, penyelenggaraan festival rakyat Muaro Padang oleh Dinas Pariwisata setempat yang telah terlaksana dengan baik, adalah strategi yang cukup tepat untuk memberikan alternatif liburan selain ke destinasi wisata massal bagi perantau dan wisatawan yang datang ke Kota Padang pada momentum libur lebaran.

Apalagi, festival tersebut dikemas dengan konsep sedemikian rupa dengan mengedepankan keragaman berbagai etnis, tradisi dan kebudayaan masyarakat yang pernah mendiami Kota Tua Padang yang berabad-abad lampau.

“Penyelenggaraan Festival multietnis Padang Tempoe Doeloe di di kawasan Muaro Kota Tua Padang, mengandung serta mengirimkan pesan simbolik yang sangat luar biasa bagi masyarakat luas,” ujarnya kepada Haluan Jumat (19/4/2024).

Pengurus Bidang Pengembangan Pariwisata Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Sumbar ini menyatakan, pesan itu berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Sumbar, sejak dahulu kala adalah masyarakat yang toleran dan tidak anti dengan perbedaan etnis, ras, maupun agama.

Buktinya, tidak pernah satu kali pun terdengar kabar adanya gesekan antar etnis di Sumbar seperti yang telah berlangsung selama berabad-abad di kawasan sehiliran sungai Batang Arau, Kota Tua Padang dan sekitarnya.

“Itu membuktikan Sumbar sangat toleran terhadap perbedaan, suku agama dan rasa, buktinya etnis lain pun di Sumbar bisa hidup dengan aman, nyaman, tenang serta bisa beraktivitas di berbagai sektor Ekonom sosial dan budaya. Tidak ada satupun etnis yang terkesampingkan. Termasuk di kursi Legislatif sekalipun,” ucapnya.

Selain mengirimkan makna dan pesan mendalam terkait keunikan pluralisme, dan heterogenitas masyarakat di daerah itu pada masa lalu. Festival Rakyat Muaro Padang juga dinilai juga menjadi merupakan sarana edukasi sejarah bagi generasi muda.

Dengan menyaksikan betapa indahnya heterogenitas ras, tradisi, budaya dan agama yang tersaji di Festival Muaro Padang, generasi muda Sumbar diharapkan menjadi generasi yang toleran dan menghargai perbedaan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh masyarakat multi etnis yang hidup dengan harmonis di Kota Tua Padang masa lampau.

Namun demikian, setelah penyelenggaraan festival Muaro Padang ini selesai, Abdi meminta Dinas Pariwisata Kota Padang dan stake holder terkait lainnya serius dalam menggarap potensi wisata sejarah Kota Tua Padang yang beberapa waktu lalu telah dibuatkan master plan perencanaannya.

Satu hal yang paling penting untuk mewujudkan cita-cita besar pengembangan potensi wisata sejarah Kota Tua Padang, menurutnya adalah menciptakan unsur kelembagaan Badan Pengelola (BP) yang kuat.

Sebab berkaca dari pengelolaan wisata sejarah di Kota-Kota Tua lainnya di Indonesia, mereka bisa maju dan berkembang karena disana memang terdapat kelompok masyarakat yang memang benar-benar serius dan fokus mengurusi bangunan-bangunan bersejarah yang ada di Kota Tua mereka masing-masing.

Kehadiran kelembagaan BP Kota Tua Padang yang kuat, diharapkan membantu l melakukan pendekatan dan menjembatani komunikasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok etnik pemilik bangunan bersejarah yang ada di kawasan cagar budaya tersebut.

“Pendekatan persuasif itu penting dilakukan karena di kawasan Kota Tua Padang, memang sangat banyak areal bangunan bersejarah sakral privat milik pribadi dibandingkan dengan ruang publik,” jelasnya.

Dalam menyikapi situasi seperti itu, Abdi meminta pemerintah melakukan edukasi penyadaran kepada masyarakat setempat bahwasanya kawasan maupun bangunan yang mereka tempati sangat potensial dijadikan objek wisata sejarah.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah berserta Badan Pengelola (BP) bentukannya untuk menetapkan batasan-batasan areal tertentu terkait bagian Kota Tua Padang mana yang terbatas dikunjungi wisatawan.

Hal itu sangat penting mengingat didalam kawasan Kota Tua Padang beserta area penyanggannya, juga berdiri bangunan Masjid, Vihara, Klenteng dan bangunan sakral lainnya.

Abdi yang juga merupakan Ketua Pusat Pengembangan Desa Wisata Kreatif Fakultas Pariwisata UM Sumbar ini menekankan kesakralan nilai-nolai kearifan lokal serta keunikan yang dimiliki masing-masing etnis di kawasan Kota Tua Padang harus dijaga dan dilestarikan.

Pengembangan pun harus dilakukan pemerintah daerah dengan melibatkan secara partisipatif para tokoh perwakilan berbagai kelompok etnis yang ada di kawasan Kota Tua Padang.

“Misalnya, mereka juga harus dikasi tahu apa keuntungan bagi mereka. Misalnya jika ada wisatawan yang masuk ke bangunan etnik Tionghoa, mereka harus dilibatkan menjadi pemandu wisata di lokasi itu,” ucapnya.

Abdi meyakini dengan menetapkan batasan-batasan areal kunjungan tertentu bagi wisatawan dengan mendengarkan aspirasi dan pandangan kelompok etnik masyarakat setempat, rencana penataan dan pengelolaan destinasi wisata sejarah di Kota Tua Padang akan berjalan dengan lancar.

Pengetahuan itu penting agar kearifan lokal masing-masing etnis tetap terjaga dengan menciptakan aspek toleransi yang perlu dipahami wisatawan ataui pengunjung,” pungkasnya menutup. (*)

Exit mobile version