PADANG, HARIANHALUAN.ID — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumbar meminta pemerintah daerah Sumatera Barat di segala tingkatan untuk benar-benar memedomani aturan Tata Ruang Tata Wilayah (TRTW) serta zonasi kawasan rawan bencana dalam melakukan pengembangan potensi pariwisata.
Kepala Departemen Advokasi Walhi Sumbar, Tommy Adam, menyebut, rentetan kejadian bencana alam yang menerjang sejumlah daerah dalam beberapa waktu terakhir, harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah untuk senantiasa menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan.
“Sebab ada harga yang harus dibayar mahal apabila aturan TRTW maupun zonasi kawasan rawan bencana diabaikan atau tidak dipedulikan oleh pemerintah maupun pelaku usaha itu sendiri,” ujarnya kepada Haluan Jumat (7/6).
Tommy Adam menuturkan, bencana banjir bandang yang menghancurkan kafe Xakapa dan pemandian alam Taman Wisata Alam (TWA) Mega Mendung di Lembah Anai, adalah bukti nyata akibat dari pengabaian prinsip pariwisata berkelanjutan.
“Beruntung bencana itu terjadi pada malam hari. Seandainya terjadi pada siang hari di saat pemandian atau kafe sedang ramai, entah berapa nyawa pengunjung tidak bersalah akan melayang sia-sia,” ucapnya.
Tommy Adam, menegaskan, Sumbar memang harus menggarap potensi pariwisata yang luar biasa untuk menggerakkan sektor perekonomian masyarakat dan daerah. Namun begitu, prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan, jangan sampai dilupakan atau terabaikan.
Sebab pada dasarnya, manusia dan alam harus hidup berdampingan. Sehingga, segala bentuk aktivitas ekonomi yang bersifat eksploitatif dan merusak alam, sudah semestinya harus dihentikan agar tidak menimbulkan bencana ekologis di kemudian hari.
“Kami menilai, prinsip pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ini, sering kali diabaikan. Tidak hanya di kawasan Lembah Anai saja, di Ngarai Sianok maupun di daerah-daerah lainnya pun itu terjadi,” ungkap Tommy.
Ia menjelaskan, kawasan yang berada di sisi kiri dan kanan sempadan Daerah Aliran Sungai (DAS), sejatinya adalah daerah resapan yang memiliki fungsi lindung. Kawasan ini, sudah semestinya steril dari segala aktivitas pembangunan.
Baik bagi pemukiman, maupun aktivitas usaha. Namun sayangnya hal ini sangat sering diabaikan. Hal ini bisa terlihat dari mulai menjamurnya tren kafe Instagramable yang berada di pinggiran sungai di berbagai daerah.
“Padahal sudah jelas 100 meter ke kiri dan ke kanan sempadan sungai adalah kawasan lindung yang harus steril dan juga rawan bencana. Namun masih banyak pengusaha yang ngotot mendirikan bangunan tanpa adanya teguran atau sanksi tegas dari pemerintah daerah,” tegas Tommy.
Menurut Tommy, mendirikan bangunan di areal sempadan sungai atau bahkan di lahan yang terletak di bekas aliran sungai, sesungguhnya sangatlah berbahaya. Sebab pada kenyataannya, sungai memiliki sifat alami akan kembali mencari aliran lamanya.
“Ini yang terjadi di Lembah Anai, Ngarai Sianok maupun di beberapa nagari yang berada di sepanjang aliran sungai yang berhulu di Gunung Marapi. Ketika terjadi peningkatan curah hujan, daerah itu sangat rawan tersapu banjir bandang,” jelasnya lagi.
Oleh karena itu, Walhi Sumbar, kata Tommy, mendorong pemerintah daerah di Sumatra Barat untuk benar-benar menerapkan konsep pariwisata berkelanjutan berwawasan lingkungan.
Jangan sampai tujuan mulia pemerintah daerah untuk menggerakkan perekonomian masyarakat lewat sektor pariwisata, malah menjadi petaka dan menimbulkan kerugian luar biasa di kemudian hari.
“Walhi menilai, pariwisata berkelanjutan berwawasan lingkungan serta mempertimbangkan kerawanan bencana adalah harga mati. Bencana yang terjadi di Lembah Anai dan Ngarai Sianok, harus membuat pemerintah sadar bahwa zonasi kawasan rawan bencana dan aturan TRTW itu harus benar-benar diterapkan,” pungkasnya. (*)