Berbeda dengan Tabuik Pariaman, Ustaz Zulkifli mengatakan, Kota Pariaman hanya melaksanakannya sebagai festival budaya dalam agenda pariwisata. Bahkan, masyarakat tetap mengutamakan nilai-nilai agama di samping nilai budaya.
Festival Tabuik sendiri mulai masuk ke dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 1982. Sejak saat itu, pelaksanaan Festival Tabuik dipromosikan juga ke luar daerah untuk mendatangkan turis domestik dan asin agar dikenal secara lebih luas.
“Sejauh ini, pelaksanaan Tabuik di Pariaman tetap mengutamakan nilai-nilai Islami. Saat melangsungkan prosesi, selalu didahului dengan salat berjemaah ketika bertepatan dengan waktu salat,” ungkapnya.
Kendati tidak berafiliasi dengan aliran Syiah, menurut Ustaz Zulkifli, pemerintah dan masyarakat tidak bisa memungkiri sejarah Tabuik yang merupakan tradisi Syiah. Apalagi makna kata “tabut” ialah peti mati yang ditujukan sebagai peringatan Asyura yaitu, gugurnya Husain dalam perang Karbala.
“Selagi menamakan kegiatan itu sebagai ratapan kematian Husain, ini tetap juga unsur utamanya adalah Syiah. Tinggal bagaimana kiat pemerintah dan masyarakat menyiasati hal tersebut,” tuturnya.
Pernyataan senada juga dituturkan Ketua MUI Kota Pariaman, Sofyan Jamal. Ia menyebut, kegiatan Tabuik perlu dijiwai dengan unsur keagamaan. Pemerintah dan masyarakat diminta untuk lebih mengenalkan Festival Tabuik sebagai kebudayaan khas Pariaman.