PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Perayaan Tabuik Pariaman bukan sekedar budaya seni anak nagari, tetapi juga salah satu bentuk ritual tahunan agama Syiah. Berdasarkan sejarahnya, festival ini merupakan tradisi untuk meratapi gugurnya cucu Nabi Muhammad, Husein.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pariaman, Ustaz Zulkifli Zakaria menyampaikan, pihaknya telah membahas perayaan kebudayaan tersebut menurut hukum syariat Islam.
Ia menjabarkan bahwa budaya Tabuik berawal dari Irak lalu meluas sampai ke Iran. Saat sampai di Pariaman, pelaksanaannya sudah tidak dilakukan oleh orang Syiah lagi.
Kendati, pelaksanaan Tabuik sudah dimodifikasi oleh masyarakat Pariaman dengan tujuan pariwisata, tetapi kegiatan tersebut masih berstatus sebagai salah satu penampilan ritual aliran Syiah.
“Sekiranya telah dimodifikasi demi tujuan parawisata, tapi ia tetap saja berstatus sebagai salah satu penampilan ritual Al-Husainiyat Syiah, selagi masih dalam bentuk penggambaran peristiwa kematian Husain,” tutur Ustaz Zulkifli.
Adapun Syiah merupakan kelompok yang sangat mengagungkan keluarga Ali bin Abi Thalib yang merupakan ayah Husain. Kelompok tersebut disebut cukup ekstrem meratapi kematian Husain hingga melukai tubuh sendiri.
Berbeda dengan Tabuik Pariaman, Ustaz Zulkifli mengatakan, Kota Pariaman hanya melaksanakannya sebagai festival budaya dalam agenda pariwisata. Bahkan, masyarakat tetap mengutamakan nilai-nilai agama di samping nilai budaya.
Festival Tabuik sendiri mulai masuk ke dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 1982. Sejak saat itu, pelaksanaan Festival Tabuik dipromosikan juga ke luar daerah untuk mendatangkan turis domestik dan asin agar dikenal secara lebih luas.
“Sejauh ini, pelaksanaan Tabuik di Pariaman tetap mengutamakan nilai-nilai Islami. Saat melangsungkan prosesi, selalu didahului dengan salat berjemaah ketika bertepatan dengan waktu salat,” ungkapnya.
Kendati tidak berafiliasi dengan aliran Syiah, menurut Ustaz Zulkifli, pemerintah dan masyarakat tidak bisa memungkiri sejarah Tabuik yang merupakan tradisi Syiah. Apalagi makna kata “tabut” ialah peti mati yang ditujukan sebagai peringatan Asyura yaitu, gugurnya Husain dalam perang Karbala.
“Selagi menamakan kegiatan itu sebagai ratapan kematian Husain, ini tetap juga unsur utamanya adalah Syiah. Tinggal bagaimana kiat pemerintah dan masyarakat menyiasati hal tersebut,” tuturnya.
Pernyataan senada juga dituturkan Ketua MUI Kota Pariaman, Sofyan Jamal. Ia menyebut, kegiatan Tabuik perlu dijiwai dengan unsur keagamaan. Pemerintah dan masyarakat diminta untuk lebih mengenalkan Festival Tabuik sebagai kebudayaan khas Pariaman.
“Kita perlu lebih menonjolkan Tabuik sebagai budaya, bukan ajaran Syiah. Begitu juga dengan pelaksanaannya yang harus dijiwai dengan unsur keagamaan,” katanya. (*)