PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Tuo Tabuik Pasa, Zulbakri membantah perhelatan Budaya Tabuik di Kota Pariaman mengandung unsur aliran Syiah. Menurutnya, mulai dari bentuk, ornamen hingga prosesi dari permainan anak nagari tersebut hanya berisikan falsafah masyarakat Minangkabau di Pariaman.
“Memang menurut ceritanya Tabuik datang ke Pariaman itu pernah terjadi pertentangan akidah di kalangan masyarakat. Namun, Tabuik saat awal datang ke Pariaman tidak sama dengan yang ada saat ini,” terang Zulbakri.
Berdasarkan sejarah yang ia terima, tokoh Tabuik terdahulu sudah merombak seluruh bentuk dan prosesi Tabuik agar sesuai dengan akidah masyarakat Kota Pariaman yang berlandaskan Islam. Secara bentuk, banyak penambahan ornamen-ornamen yang memiliki filosofi terkait masyarakat lokal.
“Bentuk dan ornamen yang ada seperti biliak-biliak, bungo salapan dan sebagainya itu memiliki makna tersendiri yang merujuk pada kebiasaan dan karakter orang Minang khususnya Pariaman. Sama sekali tidak ada unsur Syiah di dalamnya,” tekannya.
Zulbakri menceritakan, pada masa awal Tabuik ada di Kota Pariaman, salah satu tokoh yang paling menentang aliran Syiah yang terkandung di dalamnya ialah tokoh agama, Syekh Muhammad Jamil. Ketika itu, diadakan pertemuan dengan alim ulama, cadiak pandai dan tokoh adat untuk merumuskan budaya Tabuik.
“Tabuik mulanya dibawa oleh orang-orang yang berpengaruh Syiah. Saat itu, Syekh Muhammad Jamil menentang, sehingga diadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat di Kampung Perak untuk merumuskan bentuk Tabuik agar sesuai dengan tatanan adat budaya dan falsafah Pariaman,” ungkapnya.
Syekh Muhammad Jamil merupakan ulama besar yang terkenal sebagai pendiri Masjid Raya Pariaman yang berada di Kampung Perak, Kecamatan Pariaman Tengah, Kota Pariaman.
Dari pertemuan tersebut, Zulbakri menyebutkan bahwa dirumuskanlah bentuk Tabuik yang diaplikasikan dengan filosofi masyarakat Pariaman. Begitu juga dengan kegiatannya yang dikaitkan dengan adat dan sara.
“Jadi, budaya Tabuik yang kita adakan dan nikmati oleh masyarakat saat ini murni mencerminkan kebudayaan orang kita. Sama sekai tidak terkait dengan aliran Syiah, bahkan kami tidak tahu menahu bagaimana aliran Syiah menggelar budaya tersebut menurut versi aslinya,” kata dia. (*)