PADANG, HARIANHALUAN.ID — Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Sumbar, Sari Lenggogeni, S.E., M.M., Pg. Dipl., Ph.D, mengatakan, dalam mengembangkan destinasi wisata yang dikelola baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat, manajemen destinasi menjadi faktor kunci dalam menjaga minat wisatawan.
Destinasi yang terkelola dengan baik diharapkan mampu menyediakan fasilitas dan keamanan yang memadai, sehingga wisatawan merasa nyaman dan tertarik untuk datang, menghabiskan waktu, dan memberikan ulasan positif yang pada akhirnya dapat meningkatkan jumlah pengunjung.
“Manajemen destinasi tidak hanya sekedar menyediakan fasilitas, tetapi juga mencakup koordinasi antara pengelola dengan pihak keamanan setempat. Tantangan dalam keamanan dan kenyamanan di destinasi wisata tidak boleh diabaikan. Ketika wisatawan merasa terganggu atau tidak nyaman, potensi pasar pariwisata bisa hilang, baik wisatawan yang saat ini datang maupun calon wisatawan di masa depan. Sering kali, ulasan negatif dari pengunjung yang merasa tidak aman atau tidak nyaman akan tersebar melalui berbagai platform ulasan wisata, yang akhirnya berpotensi memengaruhi citra destinasi,” katanya kepada Haluan Jumat (1/11) di Padang.
Lebih lanjut dikatakannya, orang cenderung memperhatikan komentar atau ulasan negatif yang ditinggalkan pengunjung lainnya. Oleh karena itu, ketika sebuah destinasi tidak dikelola dengan baik, khususnya dalam aspek keamanan, hal ini dapat mempengaruhi reputasi destinasi dan berdampak pada jumlah wisatawan yang tertarik untuk datang.
“Indonesia saat ini tercatat sebagai negara ketiga dalam peringkat destinasi wisata yang memiliki risiko bencana dan isu keamanan. Hal ini merupakan tantangan besar yang perlu disikapi serius oleh semua pihak. Pengelolaan destinasi, baik oleh pemerintah maupun swasta, memerlukan regulasi yang mengatur hal-hal seperti tindakan apa yang harus diambil jika ditemukan ancaman keamanan, seperti adanya gangguan dari aktivitas-aktivitas yang mengganggu kenyamanan pengunjung,” ungkapnya.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan regulasi yang efektif untuk mengelola keamanan di destinasi wisata. Misalnya, apabila terdapat masalah di area parkir atau gangguan lainnya, diperlukan pusat panggilan (call center) khusus yang dapat merespons keluhan atau laporan dari pengunjung. Standar Prosedur Operasional (SPO) yang jelas perlu disiapkan sehingga setiap masalah yang timbul dapat langsung ditangani dengan cepat oleh pihak terkait.
“Di beberapa destinasi wisata, sering kali ditemukan pengamen atau aktivitas serupa yang mengganggu kenyamanan wisatawan. Pemerintah daerah bisa menyediakan panggung khusus bagi komunitas pengamen atau seniman lokal, di mana mereka dapat tampil tanpa mengganggu pengunjung. Hal ini memungkinkan pengunjung untuk menikmati atraksi budaya tanpa merasa terpaksa atau terganggu,” ujarnya.
Namun, penanganan keamanan di destinasi wisata tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab dinas pariwisata, karena dinas tersebut tidak memiliki kewenangan langsung dalam aspek keamanan. Peran aktif dari kepala daerah sangat dibutuhkan untuk memastikan koordinasi antara dinas pariwisata, kepolisian, dan pihak-pihak terkait agar keamanan dan kenyamanan wisatawan dapat terjaga. Ketika pemerintah daerah serius dalam memprioritaskan sektor pariwisata, pengawasan yang lebih ketat bisa diterapkan, terutama di area-area destinasi wisata yang ramai dikunjungi. “Citra aman sebuah destinasi tidak bisa dibangun secara instan; hal ini membutuhkan komitmen jangka panjang dan sinergi berbagai pihak. Regulasi yang jelas dan konsisten perlu diberlakukan untuk memastikan keamanan dan kenyamanan wisatawan, sehingga sektor pariwisata dapat berkembang secara berkelanjutan. Dengan adanya manajemen destinasi yang baik dan koordinasi keamanan yang kuat, diharapkan citra positif pariwisata Indonesia dapat terbangun, menarik lebih banyak wisatawan, dan memperkuat daya saing destinasi di kancah internasional,” tutupnya. (*)