“Dia menganggap pariwisata itu bagian dari orang lain. Misalnya kalau ada orang yang datang ke hotel, itu adalah keuntungan bagi hotel lalu kalau ada orang masuk ke wisata taman, maka itu adalah kekayaan yang punya taman. Mereka menganggap pariwisata tidak penting jika itu tidak berimbas langsung kepada dirinya,” katanya.
Saat ini, pemerintah daerah, pelaku usaha hingga pegiat pariwisata Sumbar, sebenarnya telah menyadari begitu besarnya Multiplier Effect sektor pariwisata. Namun sayangnya, kesadaran itu masih belum berhasil dibumikan secara sempurna kepada masyarakat luas.
Untuk mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat ini, konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Development, harus benar-benar dijalankan. Hal ini penting agar seluruh unsur masyarakat sadar dan memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga kondusifitas iklim pariwisata.
“Contohnya saja di Bali, disana, ketika tempat wisata kotor, yang turun tangan membersihkannya adalah para tukang pijit , sebab mereka berpikir jika lokasi mereka bersih, wisatawan pasti akan berdatangan dan tempat usaha mereka akan ramai. Jadi masyarakat itu memang memiliki rasa memiliki sektor pariwisata, kesadaran masyarakat inilah yang harus terus didorong,” ungkapnya.
Disamping efektif sebagai upaya mendorong keterlibatan aktif masyarakat sekitar destinasi, konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat juga akan memastikan efek ekonomi pariwisata benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak.
“Dalam bisnis pariwisata , ada yang namanya pelaku, pegiat dan terdampak. Nah, mereka yang terdampak ini lah yang harus kita perjuangkan. Sebab selama kalangan terdampak ini tidak mendapat manfaat, maka mereka akan menjadi pengganggu atau ancaman bagi sektor pariwisata,” ujarnya