PADANG, HARIANHALUAN.ID – Upaya pemerintah daerah untuk menggeliatkan perekonomian masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) lewat sektor pariwisata, sampai saat ini masih menghadapi tantangan serius dari maraknya aksi-aksi premanisme dan pungutan liar oleh oknum tidak bertanggung jawab di destinasi wisata. Perlu solusi konkret dari semua elemen pegiat wisata untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pakar Pariwisata dan Lingkungan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Prof Indang Dewata, menilai, terus berulangnya peristiwa memalukan yang mencoreng citra pariwisata Sumbar di mata wisatawan ini, harus diselesaikan dengan mengurai akar utama penyebab munculnya aksi premanisme. “Yaitu tingginya angka pengangguran. Apalagi generasi muda kita yang didominasi generasi Z dan generasi Alpha saat ini, cenderung malas bergerak dan ingin mendapatkan uang secara instan,” ujarnya kepada Haluan Jumat (1/10).
Menurut Prof Indang Dewata, sempitnya lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja di Sumbar saat ini, menyebabkan generasi muda usia produktif Sumbar rentan terlibat dalam aksi premanisme maupun kriminalitas. Selama pemerintah belum mampu menciptakan peluang atau kesempatan kerja yang layak bagi generasi muda, maka akan selama itu pula aksi premanisme akan tubuh subur di lokasi-lokasi destinasi wisata.
“Untuk itu, semua masyarakat hendaknya harus dilibatkan dalam pembangunan pariwisata. Tujuannya agar mereka sadar dan memiliki tanggung jawab dalam menjaga kondusifitas iklim pariwisata yang memiliki multiplier effect pariwisata,” ungkapnya.
Sempitnya kesempatan kerja bagi generasi muda Sumbar hari ini, menurut Prof Indang Dewata, diperparah dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap potensi ekonomi pariwisata yang sebenarnya sangat berdampak luas bagi banyak sekali sektor usaha masyarakat.
Alih-alih menyadari hal itu dan ikut serta menjaga kondusifitas iklim pariwisata, sebagian kecil masyarakat Sumbar masih menganggap bisnis pariwisata bukan merupakan bagian dari hidupnya yang semestinya perlu dijaga bersama.
“Dia menganggap pariwisata itu bagian dari orang lain. Misalnya kalau ada orang yang datang ke hotel, itu adalah keuntungan bagi hotel lalu kalau ada orang masuk ke wisata taman, maka itu adalah kekayaan yang punya taman. Mereka menganggap pariwisata tidak penting jika itu tidak berimbas langsung kepada dirinya,” katanya.
Saat ini, pemerintah daerah, pelaku usaha hingga pegiat pariwisata Sumbar, sebenarnya telah menyadari begitu besarnya Multiplier Effect sektor pariwisata. Namun sayangnya, kesadaran itu masih belum berhasil dibumikan secara sempurna kepada masyarakat luas.
Untuk mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat ini, konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Development, harus benar-benar dijalankan. Hal ini penting agar seluruh unsur masyarakat sadar dan memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga kondusifitas iklim pariwisata.
“Contohnya saja di Bali, disana, ketika tempat wisata kotor, yang turun tangan membersihkannya adalah para tukang pijit , sebab mereka berpikir jika lokasi mereka bersih, wisatawan pasti akan berdatangan dan tempat usaha mereka akan ramai. Jadi masyarakat itu memang memiliki rasa memiliki sektor pariwisata, kesadaran masyarakat inilah yang harus terus didorong,” ungkapnya.
Disamping efektif sebagai upaya mendorong keterlibatan aktif masyarakat sekitar destinasi, konsep pembangunan pariwisata berbasis masyarakat juga akan memastikan efek ekonomi pariwisata benar-benar dirasakan oleh masyarakat terdampak.
“Dalam bisnis pariwisata , ada yang namanya pelaku, pegiat dan terdampak. Nah, mereka yang terdampak ini lah yang harus kita perjuangkan. Sebab selama kalangan terdampak ini tidak mendapat manfaat, maka mereka akan menjadi pengganggu atau ancaman bagi sektor pariwisata,” ujarnya
Ia meyakini konsep pembangunan pariwisata berbasis komunitas, justru akan lebih efektif untuk menumpas habis aksi-aksi premanisme di destinasi wisata daripada langkah penegakan hukum. “Sebab jika lewat pendekatan penegakan hukum, ketika aparat penegak hukum hilang, mereka akan kembali muncul dan terjadilah aksi kucing-kucingan, Makanya pariwisata itu harus dijadikan milik bersama. Dengan melibatkan semua pihak, baik para preman, tokoh masyarakat dan sebagainya, mereka semua harus dilibatkan,” tutupnya. (*)