JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Supriyani, guru honorer asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan kriminalisasi pada Hari Guru (25/10). Namun, hingga kini, tuntutan untuk regulasi perlindungan guru belum mendapatkan respon positif dari Komisi X DPR RI maupun Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Merespon situasi ini, pada Kamis (28/11), organisasi profesi pengawas sekolah dan kepala sekolah pun turut angkat bicara, mendesak agar regulasi tersebut segera disahkan untuk menjamin keamanan dan kepastian bagi para pendidik.
Agus Sukoco, ketua umum Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI), yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Guru (Koper Guru), menegaskan bahwa tugas guru rentan terhadap tekanan dan resiko karena sangat kompleks.
“Guru tidak hanya sekadar mengajar, tapi juga membentuk karakter, membimbing, dan menjadi teladan bagi murid. Namun kompleksitas ini yang seringkali membuat mereka rentan terhadap berbagai tekanan dan resiko,” tuturnya.
Menurut pengalamannya puluhan tahun di dunia pendidikan, kriminalisasi seperti yang dihadapi oleh Supriyani seharusnya tidak terjadi jika ada regulasi perlindungan yang jelas. Regulasi ini termasuk peran pengawas dalam mendampingi guru sehingga sifatnya mencegah.
Wahyu Ekawati, ketua umum Komunitas Pengawas Belajar Nusantara (KPBN), menambahkan bahwa regulasi perlindungan guru memiliki keterkaitan erat dengan Model Kompetensi Profesional indikator ketiga mengenai kemampuan mengelola implementasi kebijakan di satuan pendidikan.
“Dengan adanya regulasi, guru tidak hanya merasa lebih terlindungi tapi juga memiliki pedoman yang jelas dalam menghadapi situasi atau tantangan tertentu berkaitan dengan tugas mereka,” paparnya.
Melalui regulasi, proses pengelolaan implementasi kebijakan dapat berjalan lebih terarah, adil, dan terukur, memastikan hak guru dihormati dan kewajiban mereka dilaksanakan dengan baik.
Hingga rilis dikirimkan, 4000 orang lebih telah menandatangani petisi “Tiga Tuntutan Perlindungan Guru” yang diinisiasi oleh Koper Guru. Ada tiga poin desakan yakni (1) lindungi guru, (2) libatkan orangtua, dan (3) perbaiki pembelajaran.
Asep Tapip Yani, ketua umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI), mengungkapkan, dinamika relasi guru dan orangtua adalah hal yang wajar tapi seharusnya dapat dikelola dengan baik untuk mendukung kepentingan anak.
“Oleh karenanya, sebenarnya kesadaran guru, orangtua, dan masyarakat, kalau perkembangan anak tidak hanya bisa diserahkan ke sekolah itu sangat penting. Regulasi ini juga sebagai bentuk desakan bahwa ini PR kita bersama,” katanya.
Dia menceritakan pengalaman rekannya menghadapi tindakan murid yang menantang. Meskipun sudah dilakukan berbagai upaya seperti home visit, tidak ada yang berubah. Namun, di akhir semester orangtua marah karena prestasi akademik anaknya tidak sesuai yang diharapkan oleh mereka.
“Padahal pihak orang tua kurang memperhatikan dan hanya menuntut guru yang seharusnya mendidik. Kalau ada yang menantang, guru yang disalahkan. Itu pun sempat ada ancaman akan diviralkan di media massa, dan sebagainya. Jadi regulasi sebenarnya untuk kualitas pendidikan kita menyeluruh,” tutupnya. (*)
Koalisi Perlindungan Guru (urutan sesuai abjad)
- Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia (AKSI) – Bapak Asep Thapip
- Asosiasi Pengawas Seluruh Indonesia (APSI) – Bapak Agus Sukoco
- Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) – Ibu Tety
- Guru Belajar Foundation (GBF) – Bapak Bukik Setiawan
- Ikatan Guru Indonesia (IGI) – Bapak Danang Hidayatullah
- Jaringan Sekolah Madrasah Belajar (JSMB) – Bapak M. Niamil Hilda
- Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) – Bapak Nunuk Riza Puji
- Komunitas Pengawas Belajar Nusantara (KPBN) – Ibu Wahyu Ekawati
- Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) – Bapak Achmad Zuhri
- Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) – Bapak Fatah ***