JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Pro dan kontra deep learning mencuat di kalangan pendidik pasca pendekatan pembelajaran tersebut dikenalkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, akhir tahun lalu.
Menanggapi hal tersebut, Bukik Setiawan, Ketua Guru Belajar Foundation, menyatakan bahwa deep learning masih sejalan dengan esensi Kurikulum Merdeka. Oleh karenanya, pendidik tidak perlu risau.
Bukik menjelaskan, dengan deep learning, murid tidak hanya sekadar belajar dalam arti akademis (study), tapi juga mengalami proses pembelajaran yang lebih mendalam dan bermakna (learn).
“Deep learning adalah upaya meningkatkan relevansi pendidikan dengan kehidupan nyata,” paparnya dalam siaran pers Jumat (28/2).
Perbedaan “Study” dan “Learn”
Lebih lanjut, aktivis pendidikan tersebut menyoroti masyarakat Indonesia yang seringkali masih memandang tujuan pendidikan sebatas mendapat nilai ujian yang bagus.
“Murid dianggap berhasil belajar ketika mendapat nilai ujian yang bagus. Nilai yang bagus memang menunjukkan keberhasilan “study” tapi belum tentu berhasil “learn”. Keberhasilan “learn” ketika murid menunjukkan penguasaan kompetensi,” tutur Bukik.
Dalam pendidikan yang fokus hanya pada “study”, Bukik menyebutkan beberapa ciri, yakni, (1) siap sekolah, (2) mengejar nilai angka, (3) ujian terstandar (4) menghafal, dan (5) kepatuhan.
“Sekolah selama ini fokus ke “study”, ini miskonsepsi pendidikan. Murid belajar untuk siap lanjut ke jenjang selanjutnya dengan mengejar nilai angka. Ujiannya terstandar, bagaimana agar bisa lolos ujian? Belajarnya low-order thinking, menghafal dan patuh apa kata orang dewasa,” terangnya.
Sedangkan “learn” berorientasi pada penguasaan kompetensi agar murid siap hidup. Ujian bermakna dilakukan untuk memastikan sejauh mana kompetensi tercapai. Murid tidak hanya menghafal tapi menalar dan mandiri untuk mencapai tujuannya.
“Study” Tetap Perlu Dilakukan
Meski demikian, Bukik menegaskan jika tidak ada yang salah dengan “study”. Namun, “study” tidak seharusnya menjadi tujuan akhir dari pendidikan.
“Misalnya menalar, itu juga butuh kemampuan menghafal. Tapi jika hanya cukup menghafal, berarti murid kita berhenti pada kemampuan low-order thinking. Padahal dari bayi, manusia belajarnya high-order thinking, menganalisis sekitarnya. Kapasitas otak anak lebih dari low,” terangnya.
“Kalau tujuan akhirnya adalah “study”, maka yang dibutuhkan bukan sekolah tapi bimbel. Deep learning adalah upaya mengembalikan peran guru dan sekolah pada khittah atau esensinya,” tutup Bukik. (*)