JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Kebijakan kembalinya sistem penjurusan di tingkat SMA disetujui DPR hari ini dan akan diresmikan 2 Mei mendatang. Berbagai respon bermunculan, di antaranya Bukik Setiawan, Ketua Guru Belajar Foundation, yang menentang kebijakan ini.
“Dalam situasi ketika anak-anak kita sedang membangun arah belajarnya sendiri, kebijakan ini justru mengancam untuk menarik mereka kembali ke sistem lama yang telah lama dikritik karena tidak relevan dengan tantangan masa kini,” kata Bukik.
Menurutnya, sistem tanpa penjurusan merupakan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan murid di masa kini dan masa depan untuk masuk ke dalam dunia profesional.
Bukik juga menyoroti potensi hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan karena perubahan kebijakan tanpa kajian menyeluruh. Terlebih sistem penjurusan sebelumnya telah meninggalkan jejak luka kolektif akibat ketimpangan perlakukan antar jurusan.
“Lakukan evaluasi berbasis bukti terhadap pelaksanaan sistem pemilihan mata pelajaran dan perkuat komponen pendukungnya, seperti asesmen minat dan bakat, pendampingan karier, dan pelatihan guru,” tegas Bukik.
Respon keberatan juga disampaikan dari guru dan sekolah yang berhadapan langsung dengan murid. Di antaranya Cicilia, guru BK dan wakasek kesiswaan SMA Santa Maria 1 Kota Bandung, serta Hastari, guru BK dan wakasek kurikulum SMA Ignatius Slamet Riyadi Residen, Karawang.
Di bawah naungan Yayasan Salib Suci (YSS), keduanya membuktikan bahwa sistem tanpa jurusan sangat menyiapkan murid untuk lanjut ke perguruan tinggi dan dunia professional kelak. Mereka berharap kebijakan kembalinya sistem penjurusan dibatalkan.
“Anak-anak yang masuk ke kelas yang mereka minati, mereka memilih karena kesadaran sesuai rencana studi mereka. Meskipun tidak semua anak cemerlang di mapel tersebut tapi punya kemauan untuk belajar,” ungkap Tari, sapaan akrab Hastari.
Dia menjelaskan, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyiapkan murid agar dapat memilih mata pelajaran yang tepat. Salah satunya mengajak murid memahami regulasi yang ada.
Tari menjelaskan, setiap murid di sekolahnya pasti paham soal Peraturan Menteri Nomor 345/M/2022 mengenai Mata Pelajaran Pendukung Program Studi dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi. Dalam peraturan tersebut, tercantum lengkap mata pelajaran pendukung yang perlu diambil murid sesuai dengan program studi yang ingin diambil di tingkat perguruan tinggi.
“Ketentuan itu hanya untuk yang daftar PTN non test. Tapi saya mengajak murid, baik yang mau masuk PTN jalur test, swasta, atau luar negeri, semua harus paham. Dari situ murid jadi paham kompetensi dasar apa yang perlu mereka miliki,” terangnya.
“Jadi kami menjamin, nggak ada anak kami yang nggak belajar biologi dan atau kimia lalu mendaftar Fakultas Kedokteran,” lanjutnya.
Sebagai wakasek kurikulum, Tari mengaku sebenarnya cukup kewalahan mengatur jadwal kelas dengan sistem ini. Namun, semua terbayarkan karena murid lebih menikmati proses belajarnya.
Tidak jauh berbeda dengan Tari, di sekolah tempat Cicilia berkarya, banyak kegiatan pembelajaran yang dikaitkan dengan persiapan anak mengenal minat dan bakatnya.
“Kami kaitkan dengan kegiatan yang sudah ada. Misalnya live-in. Atau P5 di tema Bangunlah Jiwa dan Ragaku, fasilitator akan meramu sedemikian rupa agar nanti goalnya murid memahami kebutuhan untuk kariernya,” terangnya.
Kegiatan rutin lain yakni edu-fair dimana sekolah mengundang berbagai kampus untuk melakukan eksibisi memperkenalkan program studi yang dimiliki. Kampus yang diundang akan disesuaikan dengan kebutuhan murid sesuai hasil analisis dari guru BK.
Proses untuk sampai murid mengenal minat dan bakatnya tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua kali kegiatan melainkan berkelanjutan. Cicilia mengatakan, butuh komitmen yang kuat dari guru untuk mendampingi murid.
“Memakan waktu, tenaga dan pikiran tapi itu resiko kami. Pendampingan nggak berhenti ketika mereka sudah memilih mata pelajaran tertentu tapi berkelanjutan sampai murid lulus dan kuliah,” tuturnya.
Dia berpesan, penting bagi guru BK untuk memiliki pengetahuan yang mumpuni soal profesi. Guru BK perlu mengetahui jurusan apa dan kampus apa yang akan sesuai dengan kebutuhan anak untuk mencapai karier profesi yang mereka idamkan.
Menutup uraian Tari dan Cicilia, Theresia Tri Darini, tim Penelitian dan Pengembangan YSS, mengatakan, perlu kolaborasi dari seluruh pihak untuk mengantarkan murid siap melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Sebagai pihak dari yayasan, dia mengatakan sering mengajak guru BK di setiap sekolah untuk berdiskusi mengenai kebutuhannya.
“Banyak asesmen yang kami rancang untuk urusan karier. Guru BK lulusan non psikologi biasanya belum bisa membuat instrumen asesmen nya, maka kami adakan sesi belajar bersama,” cerita There.
Dia juga mengungkapkan perlunya sekolah melibatkan orangtua sejak awal tahun ajaran. Sesuai dengan arahan ketua yayasan, sekolah di bawah naungan YSS wajib memberikan kegiatan parenting agar orang tua up to date dengan perkembangan dan kebutuhan anaknya. “Bukan hanya bicara soal akademik tapi bagaimana kariernya nanti. Satu tujuan dulu dengan orangtua,” tukasnya.
“Kata kuncinya bagaimana kita bisa membantu murid melakukan self-assessment. Nah itu didukung dengan pengetahuan. Pengetahuan tentang kampus yang up to date. Di
sini PR nya nggak hanya di guru BK tapi juga orangtua,” tutupnya. (*)