JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Merefleksikan Hari Pendidikan Nasional, Bukik Setiawan, ketua Guru Belajar Foundation, menuturkan, agar hari penting ini digunakan sebagai pengingat arah pendidikan ke depan.
Bukik mengibaratkan pendidikan Indonesia saat ini menggunakan kompas tanpa arah utara. “Jarumnya terus bergerak, tapi tak pernah menunjuk utara. Kadang ke kanan, kadang ke belakang, kadang memutar, kadang diam pura-pura sibuk. Yang pasti, ia membuat kita tampak seperti bergerak, meski sebenarnya hanya berputar di tempat,” kata Bukik, Sabtu (3/5).
Dengan perjalanan lebih dari sepuluh tahun mendampingi guru dari 150 daerah, Bukik menegaskan pendidikan Indonesia tidak butuh sistem yang sibuk mengganti istilah alih-alih mendengarkan pengalaman di lapangan.
Sebagian kebijakan dikembalikan ke masa lalu atau ada yang dihentikan. Masalahnya, perubahan dilakukan tanpa evaluasi yang jelas dan konsistensi arah sehingga kembali mengorbankan murid dan guru.
“Kita butuh keberanian untuk menata ulang arah. Menjadikan evaluasi sebagai alat belajar, bukan alat untuk menakuti. Mengarah pada kesesuaian lokal, bukan mengejar perbandingan global. Guru sebagai pemimpin belajar bukan sekadar pelaksana format administrasi,”
“Mari kita jujur, mampukah sistem saat ini mampu melahirkan generasi yang utuh secara nilai dan nalar?” tukas Bukik.
Dia menyoroti berbagai situasi nyata terkini seperti krisis iklim, perubahan pola kerja, hingga kecerdasan buatan. Murid membutuhkan kompetensi berpikir kritis, bekerjasama, dan empati yang tidak didukung oleh sistem pendidikan saat ini.
Maurensyiah, guru SMA Negeri 22 Makassar menyepakati apa yang disampaikan oleh Bukik. Sebagai guru, dirinya mengaku merasa sering terombang-ambing oleh perubahan kebijakan yang tidak terasa esensial.
“Kita seringkali jadi melupakan esensi dari mendidik, menumbuhkan empati, bernalar kritis, dan peduli pada kebahagiaan murid. Kebijakan seharusnya memberi ruang bagi guru untuk terus mengembangkan kreativitas agar dapat bertumbuh bersama murid,” katanya.
Sebagai ketua Forum Guru Indonesia dan penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara, dia mengajak agar seluruh guru lantang menyuarakan apa yang paling penting dan menolak perintah kosong yang hanya menambah beban administratif.
Dia juga mengingatkan guru agar membangun solidaritas dan saling berbagi praktik baik untuk menghadapi berbagai tantangan di kelas. Guru tidak harus menunggu kebijakan pusat berubah tapi dapat memulai dari hal-hal kecil yang berdampak untuk murid.
“Guru bisa mulai menerapkan hal-hal kecil seperti rajin berefleksi, melakukan penilaian formatif yang sifatnya memberikan umpan balik, mendesain proyek berbasis kearifan lokal, ataupun mengajak diskusi murid tentang isu nyata di sekitarnya,” sarannya.
“Saya yakin aksi atau perubahan sekecil apa pun akan dapat menumbuhkan keberanian, hal ini dapat menginspirasi guru-guru dan menjadi awal perubahan pendidikan jadi lebih baik,” lanjutnya.
Dia berharap, Hari Pendidikan Nasional tidak hanya seremoni tapi momentum menegaskan arah pendidikan yang dilandasi memanusiakan hubungan, kontekstual, dan memberdayakan guru serta murid. (*)