JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Dalam sesi Lokakarya Pengembangan Program Pendidikan Daerah yang diselenggarakan di Dinas Pendidikan DKI Jakarta sebagai bagian dari rangkaian Konferensi Pendidikan Indonesia, Guru Belajar Foundation (GBF) menyampaikan lima prinsip dasar yang perlu menjadi acuan dalam merancang program pendidikan daerah yang relevan, berdampak, dan berkelanjutan.
Sesi yang dilaksanakan pada Kamis (15/05) ini dipandu oleh Bukik Setiawan, Ketua GBF. Dia mengajak para peserta dari berbagai daerah untuk meninjau kembali cara merancang program pendidikan.
Prinsip tersebut menekankan agar program pendidikan tidak hanya sekadar menjalankan proyek, tetapi membangun proses yang tumbuh dari kebutuhan nyata dan didukung oleh kolaborasi kuat di lapangan.
Prinsip pertama, mengakui tantangan adaptif dalam pendidikan. Program pendidikan sering gagal berdampak karena dirancang seolah hanya perlu solusi teknis—padahal banyak hambatan muncul dari kebiasaan lama, nilai yang mengakar, atau cara pikir yang belum berubah.
Untuk itu, perancang program perlu memahami bahwa memperbaiki pendidikan tidak cukup dengan pelatihan atau distribusi alat, tapi harus menyasar perubahan cara kerja dan budaya sekolah.
Kedua, merancang program sebagai proses belajar. Program pendidikan perlu dirancang sebagai ruang pembelajaran bersama. Artinya: terbuka terhadap umpan balik, fleksibel terhadap dinamika lapangan, dan siap disesuaikan seiring berjalannya waktu.
“Keberhasilan bukan hanya tercapainya target kegiatan, tetapi juga sejauh mana program membantu sekolah dan guru belajar hal baru yang bermakna,” jelas Bukik.
“Tidak seperti proyek infrastruktur yang menuntut ketepatan dari awal hingga akhir, program pendidikan justru perlu terus diuji, disesuaikan, dan diperbaiki berdasarkan pengalaman serta suara dari para pelaku pendidikan,” lanjutnya.
Prinsip selanjutnya, menjadikan partisipasi sebagai pondasi program. Pelibatan guru, kepala sekolah, orang tua, dan komunitas dalam perancangan dan pelaksanaan program bukan penghambat, tapi justru kunci keberhasilan.
Program yang tumbuh dari dialog dengan para pelaku pendidikan jauh lebih relevan dan bertahan lebih lama dibanding program yang hanya dibawa dari atas.
Keempat, membangun dukungan melampaui struktur formal. “Keberhasilan program pendidikan tidak ditentukan oleh seberapa kuat instruksi birokrasi, melainkan seberapa besar dukungan dari orang-orang yang akan menjalankannya,” terang Bukik.
Perubahan adaptif bergantung pada kredibilitas, relas, dan keberanian mengambil resiko. Itu sebabnya, program perlu didesain dengan komunikasi yang jelas, membangun kepercayaan, dan ruang kolaborasi antar pelaku.
Prinsip terakhir, mengelola ketidaknyamanan yang menyertai program. Setiap program pendidikan yang mengubah praktik akan memunculkan ketidaknyamanan: rutinitas berganti, ekspektasi berubah, dan rasa aman terganggu.
Apabila hal tersebut tidak diakui dan dikelola, resistensi bisa tumbuh diam-diam. Program yang berhasil adalah program yang menyediakan ruang untuk mendengar keberatan, memberi waktu beradaptasi, dan mendampingi proses perubahan secara manusiawi.
“Pendidikan tidak bisa dibangun hanya dengan kegiatan. Ia tumbuh melalui relasi, refleksi, dan keberanian mengelola kompleksitas,” pungkas Bukik. (*)