PADANG PARIAMAN, HARIANHALUAN.ID – Mimpi Fernando Hamzah, siswa SMP Negeri 1 Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, untuk melanjutkan pendidikan di bangku kelas VIII terpaksa tertunda. Ia tidak dapat mengikuti daftar ulang tahun ajaran baru karena keterbatasan ekonomi.
Sang ibu, Nuraini, seorang pedagang kecil asal Tanjuang Basuang 1, mengaku tidak sanggup membayar biaya daftar ulang sebesar Rp950.000 yang diminta pihak sekolah.
“Waktu daftar ulang saya cuma punya Rp300 ribu, itu pun pinjam. Saya sudah mohon supaya boleh dicicil, tapi katanya harus lunas. Karena tidak bisa bayar, anak saya tidak bisa daftar ulang,” tutur Nuraini sedih, Selasa (22/7).
Fernando dikenal sebagai anak yang rajin dan semangat belajar. Namun sejak gagal ikut daftar ulang, ia hanya tinggal di rumah membantu sang ibu menjaga warung. “Waktu teman-temannya mulai sekolah, dia cuma duduk di rumah. Saya lihat dia sedih, tapi dia pendam,” ujar Nuraini dengan mata berkaca-kaca.
Nuraini mengatakan bahwa biaya Rp950 ribu tersebut mencakup pengadaan seragam sekolah. Ia mengaku bingung karena tidak diberi opsi pembayaran secara bertahap, padahal penghasilan sehari-harinya sebagai pedagang kecil tidak menentu.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan publik dan mempertanyakan sejauh mana sekolah negeri menjalankan prinsip wajib belajar tanpa diskriminasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008.
Menanggapi hal tersebut, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Padang Pariaman, Dedi Spendri memberikan klarifikasi bahwa pengadaan seragam sekolah seharusnya tidak menjadi syarat mutlak bagi siswa untuk mengikuti kegiatan belajar.
“Kami tidak pernah mewajibkan orang tua untuk membeli seragam dari sekolah. Kalau siswa sudah punya sendiri, bahkan lungsuran, itu boleh dipakai,” tegas Dedi saat dikonfirmasi, Selasa (22/7). Ia juga membantah adanya larangan bagi siswa untuk mengikuti kegiatan belajar karena belum membayar lunas.
Menurutnya, siswa tetap berhak belajar dan sekolah tidak menahan hak pendidikan karena alasan seragam. Disebutkannya, sudah banyak kasus orang tua yang tidak bisa melunasi biaya seragam sekolah, tetapi anak-anaknya tetap menjalani pendidikan sampai lulus.
“Sekolah tidak melarang siswa ikut pelajaran hanya karena belum membayar, karena itu urusan dengan wali murid. Tidak boleh ada siswa yang kehilangan hak belajarnya karena kendala teknis seperti ini,” ujarnya.
Ia mengakui kemungkinan terjadi miskomunikasi antara sekolah dan orang tua. Dedi memastikan data Fernando sebagai murid tetap ada dalam database pendidikan.
“Kalau memang tidak mampu bayar langsung, sekolah tetap memberi kelonggaran. Kita tidak ingin ada anak putus sekolah hanya karena persoalan seragam,” katanya.
Dedi menyebutkan bahwa rincian biaya Rp950.000 mencakup seragam olahraga, pramuka, muslim, batik, dan lambang sekolah. Seragam nasional putih biru akan dibagikan gratis oleh pemerintah kota. Namun semua ini bersifat opsional, bukan kewajiban.
“Kita sudah sampaikan kepada orang tua Fernando agar sang anak mulai masuk sekolah dan menjalankan aktivitas belajar seperti biasa. Soal biaya seragam bisa dicicil semampu orang tuanya,” tegasnya. (*)