AGAM, HARIANHALUAN.ID – Di tengah arus globalisasi yang begitu cepat, warisan budaya Nusantara terus mencari ruang untuk bertahan dan tumbuh. Salah satu inovasi yang kini mencuri perhatian adalah batik eco print, sebuah karya tekstil yang tak hanya indah dipandang, tetapi juga ramah lingkungan. Teknik ini menggunakan bahan alami seperti daun dan bunga yang ditata di atas kain, lalu dicetak dengan proses uap panas tanpa pewarna kimia.
Di Nagari Matua Hilia, Kabupaten Agam, inovasi ini berkembang melalui tangan-tangan terampil ibu-ibu PKK yang tak lelah berkreasi. Mereka bukan hanya membuat batik, tetapi juga menanamkan nilai pelestarian alam dan kemandirian ekonomi di setiap goresan motifnya.
Namun, di balik semangat itu, tantangan masih menghadang. Keterbatasan dalam pemasaran digital dan pengelolaan merek membuat produk mereka sulit menembus pasar yang lebih luas. Menyadari hal tersebut, tim dosen dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Program Studi Magister Manajemen Universitas Negeri Padang (UNP) hadir membawa solusi melalui Program Integrasi Prodi dan Nagari (PIPN).
Tim yang dipimpin oleh Vidyarini Dwita, S.E., M.M., Ph.D bersama para dosen, Prof. Erni Masdupi, Ph.D., Dr. Rosyeni Rasyid, Dina Patrisia, Ph.D, Abror, Ph.D, dan Dr. Mia Ayu Gusti, berkomitmen membantu masyarakat Matua Hilia mengembangkan kemampuan dalam pemasaran digital dan desain merek. Menurut Dr. Vidyarini, kegiatan ini bukan sekadar pelatihan teori. “Kami ingin ibu-ibu PKK di Matua Hilia benar-benar siap menghadapi pasar modern. Dengan pemasaran online, produk mereka bisa dikenal hingga ke seluruh Indonesia,” ujarnya kepada Haluan kemarin di Padang.
Dikatakannya, untuk pelatihan telah digelar pada 15 Juli 2025 lalu di Kantor Wali Nagari Matua Hilia yang diikuti oleh 18 orang anggota PKK. Dimana para peserta belajar cara membuka toko daring di marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop. Mereka diajarkan cara membuat foto produk yang menarik, menulis deskripsi yang menggugah, hingga berinteraksi dengan pelanggan di media sosial. “Tak hanya itu, pelatihan juga mencakup penggunaan aplikasi sederhana seperti Canva untuk mendesain logo dan kemasan produk,” ujarnya.
Para peserta kata Vidyarini, mereka tidak sekadar mendengar, tetapi langsung mencoba membuat konten promosi sendiri. Hasilnya, wajah-wajah sumringah terpancar ketika mereka berhasil melihat logo dan desain kemasan buatan tangan mereka sendiri—sebuah kebanggaan kecil yang berarti besar bagi semangat berwirausaha.
“Dari hasil evaluasi, terlihat peningkatan yang nyata. Sebagian besar peserta kini sudah mampu menggunakan media sosial untuk memasarkan produk batik eco print mereka. Meski kemampuan teknis masih perlu pendampingan, perubahan sikap dan kesadaran terhadap pentingnya branding menjadi langkah besar. Mereka mulai memahami bahwa merek bukan hanya nama, tetapi jati diri yang menyampaikan nilai dan cerita di balik produk,” ujarnya.
Dalam sesi pelatihan branding, muncul beberapa ide merek lokal. Di antaranya “Matua Eco Craft” dan “Daun Alam Batik”, dua nama yang lahir dari hati para pengrajin sendiri. Nama-nama itu bukan sekadar label, tetapi simbol cinta terhadap alam Matua Hilia dan identitas nagari yang kini menembus batas digital. Dari situ, terasa jelas bahwa pelestarian budaya bisa berjalan beriringan dengan inovasi modern.
“Melalui program PIPN yang didanai oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNP ini, menunjukkan sinergi nyata antara perguruan tinggi dan masyarakat dalam mengembangkan ekonomi kreatif berbasis budaya lokal. Namun, seperti diungkapkan tim pelaksana, tantangan berikutnya adalah menjaga keberlanjutan. Pendampingan lanjutan, kolaborasi dengan pemerintah daerah, serta kemitraan dengan marketplace menjadi kunci agar gerakan ini tidak berhenti di tahap awal,” katanya. (h/rel/isr)














