Pesantren Kilat Pronasa Didukung Masyarakat Linggo Sari Baganti

Kepala SMPN 1 Air Haji Kecamatan Linggo Sari Baganti, Afrizal, SPd

Kepala SMPN 1 Air Haji Kecamatan Linggo Sari Baganti, Afrizal, SPd

HARIANHALUAN.ID – Kepala SMPN 1 Air Haji, Kecamatan Linggo Sari Baganti, Afrizal mengatakan bahwa Pesantren Kilat Program Pronasa, mulai salat Subuh dan Isya mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat.

“Alhamdulillah, semua anak kami dari SMPN 1 Linggo Sari Banganti mengikuti semua jadwal pesantren kilat bekolaborasi dengan SMP dan SD, karena kegiatan ini baru, maka akan ada perbaikkan kedepannya,” katanya.

Yang jelas, kata Afrizal, semua masyarakat di sekitar sekolah sangat memberikan dukungan. Sepertinya, semua pihak termasuk orang tua siswa, senang anaknya bisa dipantau melalui aplikasi belajar terpadu melalui kegiatan pronasa.

“Semua murid SD dan SMP, serta guru-gurunya ikut melaksanakan salat Subuh dengan berjemaah, kondisi ini menjadikan rumah ibadah menjadi ramai,” ucap Afrizal, Senin (3/4/2023).

Masih menurutnya, kembali ke surau membuat anak yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki ilmu agama yang handal.

Bagi orang Minangkabau masa lalu, surau tak hanya digunakan untuk salat dan belajar mengaji saja, tetapi juga berfungsi sebagai tempat belajar ilmu beladiri silat bagi anak nagari berbagai suku.

Bahkan dari surau banyak lahir generasi muda Minang yang sukses sebagai pemimin bangsa. Secara ilmiah, surau adalah lambang kesakralan yang mencerminkan sikap religius, sopan santun, serta kepatuhan generasi muda kepada Allah Yang Maha Kuasa.

Bahkan bisa dikatakan, perkembangan anak-anak suku Minangkabau ditentukan dari banyaknya porsi waktu yang mereka habiskan sebagai bagian hidupnya sehari-hari di surau.

“Bagi orang Minang masa lalu, peranan surau selain untuk memperoleh informasi keagamaan, juga dijadikan ajang bersosialisasi sesama anak nagari. Bahkan sejak berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau telah akrab dengan lingkungan surau,” ujarnya.

Kemudian jika dilihat struktur bangunan rumah tradisional orang Minangkabau yang dikenal dengan Rumah Gadang, memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-lakinya. Bahkan, setelah berumur 6 tahun, anak laki-laki di Minangkabau seperti terusir dari rumah induk dan hanya pada waktu siang hari mereka boleh bertempat di rumah, guna membantu keperluan sehari-hari.

Sedangkan pada waktu malam, mereka harus menginap di surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak/adik perempuan) dan mendapat ejekan dari orang-orang, karena masih tidur dengan ibu. Dalam ucapan yang khas, lalok di bawah katiak mande. (*)

Exit mobile version