Masih Banyak Miskonsepsi, Projek Profil Harus Melalui 3 Proses

Rizqy Rahmat Hani saat menjelaskan ke peserta sesi belajar Siap Kurikulum mengenai proses yang harus dilalui muris saat menerima pembelajaran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. IST

JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (Projek Profil) mendapat alokasi waktu penerapan 25-30 persen dari total jam pelajaran dalam Kurikulum Merdeka. Kegiatan korikuler ini bertujuan untuk mengembangkan karakter murid sesuai nilai Pancasila.
Namun, Rizqy Rahmat Hani, Ketua Kampus Pemimpin Merdeka, menyebutkan, masih banyak praktik penerapan yang miskonsepsi. Pada akhirnya, puluhan hingga ratusan jam pelajaran yang dialokasikan menjadi tidak bermakna.
“Sepertiga waktu pembelajaran, di mana murid seharusnya bisa banyak belajar, berkembang karakternya sesuai tujuan projek profil, malah jadi tidak bermakna,” kata Rizqy saat mengisi sesi Siap Kurikulum untuk sekolah-sekolah di Kabupaten Sintang, pada Selasa (30/5).
Miskonsepsi pertama, tujuan seharusnya tidak pada produk melainkan karakter. Rizqy mengaku sering menemukan guru yang sudah menetapkan produk tertentu untuk dibuat oleh murid.
Penilaiannya pun pada akhirnya tidak menyorot pengembangan karakter sama sekali, melainkan hanya menilai kualitas produk. Seperti misalnya, apakah produknya bagus, warnanya menarik, bahkan produknya dilombakan.
“Padahal projek profil tujuannya bukan produk, produk hanya cara. Tujuannya karakter. Selama  bikin produk, karakternya berkembang nggak? Gotong royongnya gimana? Kemandiriannya gimana?” tukasnya.
Miskonsepsi kedua, sekolah mempersingkat prosesnya. Misalnya hanya mengajak murid bersih-bersih sekolah. Ada pula yang hanya mengadakan seminar kewirausahaan untuk menuntaskan tema kewirausahaan.
Rizqy menegaskan, pengembangan karakter murid butuh proses. Hal tersebut yang juga menjadi alasan mengapa projek profil mendapat porsi jam pelajaran yang panjang.
“Harusnya melewati proses. Investigasi dulu, lalu murid menemukan masalah, baru mengambil keputusan, mau apa untuk mendukung penyelesaian masalah itu? Nggak sekedar disuruh bersih-bersih bersama dianggap sudah tumbuh karakter gotong royongnya,” kata Rizqy.
“Melalui proses itu, diharapkan karakter yang jadi tujuan itu muncul dengan sendirinya. Jadi kebiasaan. Biasakan murid agar bisa berpikir mau melakukan apa ketika menemukan masalah, berpikir mau kontribusi apa,” lanjutnya.
Misalnya, tujuan yang ingin dicapai adalah murid bertaqwa pada lingkungannya. Aktivitas pertama bisa ajak murid ke pembuangan akhir sampah, ke terminal, atau ajak petugas kebersihan sekolah untuk bercerita kesulitan pekerjaannya.
Kegiatan di atas bertujuan untuk memancing empati murid dan memahami masalah yang ada. Saat empati sudah muncul, aktivitas selanjutnya yakni mendiskusikan apa yang bisa dilakukan sebagai langkah kontribusi atau solusi.
Miskonsepsi ketiga, projek profil digabungkan dengan intrakurikuler. Di dalam IKM, projek profil merupakan pembelajaran terpisah dari mata pelajaran. Sekolah merdeka menentukan waktu projeknya.
“Lalu miskonsepsi terakhir yang sering saya temukan bahwa projek profil bisa dilakukan sendiri. P5 itu harus tim. Kepsek, koordinator, guru, dinas, komite, pengawas sekolah, semua harus kolaborasi,” pungkas Rizqy. (rel)

Exit mobile version