Teks Foto : Pengunjung menghampiri booth Sahabat Guru Belajar, kampanye di TPN XI untuk membantu guru dan murid #LanjutBelajar. IST
JAKARTA, HARIANHALUAN.ID — Guru sering kesulitan memfasilitasi murid menerapkan pembelajaran berbasis projek. Padahal strategi belajar ini wajib diterapkan di Kurikulum Merdeka. Pembelajaran berbasis projek mendukung murid agar solutif terhadap masalah di sekitarnya.
Heny Khristiani, guru SMP Negeri 20 Tangerang Selatan dan Wiwit Sapitri, kepala MI Azzarofah Jakarta, berbagi pengalamannya menerapkan pembelajaran berbasis projek di sekolahnya. Keduanya berbagi di talkshow “Pemimpin Berdaya di Berbagai Peran” di pembukaan Temu Pendidik Nusantara XI pada Sabtu (24/02) di PosBloc Jakarta Pusat.
Heny mengatakan, ada satu sikap yang harus dimiliki oleh guru, yaitu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan demikian, guru akan berusaha mencari solusi atas masalah di kelasnya.
“Misalnya menghadapi murid yang pasif. Guru itu akan cari tahu, ingin tahu bagaimana cara mengubahnya. Minimal bertanya rekan sejawat, rekan komunitas dan melalui internet. Ketika banyak membaca, kemampuan literasinya akan meningkat, kemudian disusul meningkatkan kemampuan inovatif dan kreatif,” jelas Heny.
Selain itu, Heny juga mengajak agar guru percaya pada muridnya. Awal keinginannya menerapkan pembelajaran berbasis projek agar murid-murid memilik bekal hidup, kompetensi yang kontekstual. Hal ini dikarenakan muridnya berasal dari keluarga rentan yang jarang melanjutkan kuliah, sehingga perlu ketrampilan kerja dan adaptif..
Memang terdapat godaan di awal menerapkannya. Sebagai guru fasilitator pembelajaran berbasis projek di sekolahnya, terkadang hanya ingin menyuapi murid dengan banyak informasi. Pasalnya, murid terkadang pasif, ditanya tidak menjawab.
Maka cara yang dipakai Heny saat penerapan projek adalah dengan membimbing dan memancing dengan pertanyaan terus menerus. Dengan demikian murid dapat berekspresi dengan luas. Terakhir, dia menyebut perlunya kemampuan manajemen kelas.
“Kebetulan kami sekolah negeri, muridnya banyak, perlu manajemen kelas. Bagaimana agar kelas yang muridnya banyak itu, projeknya bisa berjalan dengan baik,” tuturnya.
Sedangkan Wiwit, berbagi pengalamannya memfasilitasi guru agar dapat mendampingi murid belajar dengan maksimal. Dia berpesan kepada kepala sekolah agar memiliki empati yang tinggi terhadap guru.
“Guru punya latar belakang, kondisi, dan sejarah masing-masing yang dibawa dari rumah ke sekolahnya. Saya perlu berempati dulu. Kalau di bahasa komunitas guru belajar, kami perlu memanusiakan hubungan,” jelasnya.
Saat membantu guru menerapkan pembelajaran berbasis projek, kepala sekolah perlu melihat kebutuhan guru dulu. Kepala sekolah bisa mengecek sejauh mana pemahamannya, kemampuannya dan hal yang perlu diketahui oleh guru.
“Guru itu perlu punya tiga unsur, yaitu will (kemauan), readiness (kesiapan), dan ability (kemampuan). Misalnya, seorang guru bisa saja tidak sanggup membahas detail topik tertentu yang dibutuhkan murid, kita bisa menghadirkan narasumber, untuk membantu murid menemukan maslaah guru juga dapat menggali dengan pertanyaan-pertanyaan lagi,” katanya.
Dia pun menceritakan, pernah memiliki seorang guru dengan kemampuan bertanya kurang. Padahal, fasilitator pembelajaran berbasis projek harus lihai melakukannya. Dalam hal ini, dia sebagai kepala sekolah perlu berperan memenuhi kebutuhan belajar guru tersebut.
“Kalau belum bisa, nggak bisa langsung besok (jadi fasilitator) projek. Berarti mereka butuh latihan bertanya, kita bikin grup untuk latihan bertanya dulu agar ketika melaksanakan itu, sehingga nantinya mereka mampu mendukung proses belajar murid dengan maksimal,” tutupnya. (h/rel)