“Di wilayah yang berkontur datar terjadi penumpukan. Ini yang terjadi di Lembah Anai, Rambatan, Batipuh, dan Lubuak Mato Kuciang yang sebenarnya berada sangat jauh dari Gunung Marapi,” katanya.
Bagaimanapun, wilayah yang sempat dilanda banjir lahar dingin Marapi tanggal 11 Mei 2024 silam merupakan daerah berisiko tinggi. Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan dampak banjir lahar dingin Marapi ke depannya akan semakin meluas.
“Lantaran sisa material erupsi kemarin belum dibersihkan. Sementara arahnya sudah pasti akan ke sana lagi,” katanya.
Selain potensi banjir lahar dingin Gunung Marapi, jajaran BPBD Sumbar dan kabupaten/kota maupun insan kebencanaan lainnya juga harus mewaspadai risiko bencana banjir dan longsor yang dipicu oleh peningkatan curah hujan yang masih akan berlangsung hingga akhir tahun nanti.
Ia mengatakan, bencana banjir dan longsor yang terjadi selama ini cenderung terjadi di daerah yang sama. Data lokasi kejadian bencana ini harus menjadi acuan bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota
untuk melakukan langkah-langkah antisipasi.
“Bencana banjir dan longsor ini biasanya akan terjadi di tempat yang sama dan akan berulang kembali. Apalagi setelah bencana tidak ditangani secara maksimal. Dibiarkan begitu saja. Kalaupun ditangani, itu hanya pembersihan pemukiman saja. Sementara akar persoalannya tidak pernah diselesaikan,” katanya.
Pola penanganan bencana banjir dan longsor seperti ini, menurut Ade, sebenarnya salah kaprah. Sebab, penyebab utama terjadinya banjir dan longsor, seperti alih fungsi lahan dan sebagainya, tidak ditangani dengan serius.