PADANG, HARIANHALUAN.ID– Praktisi kebencanaan dan ahli Geologi Sumbar, Ade Edward meminta masyarakat mewaspadai berbagai potensi bencana Hidrometeorologis yang mungkin terjadi ditengah peningkatan curah hujan yang diprediksi masih akan melanda sebagian wilayah Sumbar hingga akhir tahun 2024 mendatang.
“Terutama risiko banjir lahar dingin Gunung Marapi yang sewaktu-waktu bisa terjadi pada saat kondisi cuaca hujan ekstrem,” ujarnya kepada Haluan, Selasa (3/12).
Ade menjelaskan, ada sekitar 25 aliran sungai yang berhulu di puncak Gunung Marapi. Ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, puluhan aliran sungai ini berpotensi membawa turun sisa material erupsi Gunung Marapi berupa pasir dan batu-batu berukuran besar ke areal pemukiman penduduk yang berada di salingka Gunung Marapi.
Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat masih banyak tumpukan material erupsi Gunung Marapi yang belum berhasil dibersihkan dari aliran sungai. Begitupun dengan rencana pembangunan tanggul penahan material erupsi lahar dingin atau sabo dam yang saat ini masih dalam proses perencanaan.
“Di tengah kondisi ini, kesiapsiagaan masyarakat sangat diperlukan. Jika terjadi hujan lebat, Kelompok Siaga Bencana (KSB) yang ada di seluruh nagari di kaki Gunung Marapi diharapkan memonitor aliran sungai yang berhulu dari puncak gunung,” ucapnya.
Menurutnya, banjir lahar dingin Gunung Marapi sangat beresiko terjadi di bagian hilir aliran sungai yang berhulu di Gunung Marapi, seperti di Rambatan, Singgalang, Lembah Anai,
dan seterusnya.
Beberapa daerah itu memang berada jauh dari puncak Gunung Marapi. Namun begitu, bukan berarti daerah tersebut bebas dari ancaman
risiko banjir lahar dingin Gunung Marapi. Hal itu telah terbukti dengan terjangan banjir bandang lahar dingin Marapi yang meluluhlantakkan jalan nasional di kawasan Lembah Anai pada 11 Mei 2024 silam.
“Di wilayah yang berkontur datar terjadi penumpukan. Ini yang terjadi di Lembah Anai, Rambatan, Batipuh, dan Lubuak Mato Kuciang yang sebenarnya berada sangat jauh dari Gunung Marapi,” katanya.
Bagaimanapun, wilayah yang sempat dilanda banjir lahar dingin Marapi tanggal 11 Mei 2024 silam merupakan daerah berisiko tinggi. Namun begitu, tidak tertutup kemungkinan dampak banjir lahar dingin Marapi ke depannya akan semakin meluas.
“Lantaran sisa material erupsi kemarin belum dibersihkan. Sementara arahnya sudah pasti akan ke sana lagi,” katanya.
Selain potensi banjir lahar dingin Gunung Marapi, jajaran BPBD Sumbar dan kabupaten/kota maupun insan kebencanaan lainnya juga harus mewaspadai risiko bencana banjir dan longsor yang dipicu oleh peningkatan curah hujan yang masih akan berlangsung hingga akhir tahun nanti.
Ia mengatakan, bencana banjir dan longsor yang terjadi selama ini cenderung terjadi di daerah yang sama. Data lokasi kejadian bencana ini harus menjadi acuan bagi pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota
untuk melakukan langkah-langkah antisipasi.
“Bencana banjir dan longsor ini biasanya akan terjadi di tempat yang sama dan akan berulang kembali. Apalagi setelah bencana tidak ditangani secara maksimal. Dibiarkan begitu saja. Kalaupun ditangani, itu hanya pembersihan pemukiman saja. Sementara akar persoalannya tidak pernah diselesaikan,” katanya.
Pola penanganan bencana banjir dan longsor seperti ini, menurut Ade, sebenarnya salah kaprah. Sebab, penyebab utama terjadinya banjir dan longsor, seperti alih fungsi lahan dan sebagainya, tidak ditangani dengan serius.
Situasi itu pada akhirnya menyebabkan bencana banjir dan longsor seolah menjadi bencana musiman. Indikasi itu terbukti dengan kembali terjadinya bencana banjir dan longsor di daerah Malampah yang sudah berulang kali mengalami hal yang sama.
“Begitupun di Pesisir Selatan (Pessel). Jadi, selain menuntaskan sumber penyebab bencana. Pemerintah perlu meningkatkan peran kelompok Siaga Bencana atau bahkan
Desa Tangguh Bencana yang telah dibentuk. Karena merekalah yang akan menjadi garda terdepan dalam menghadapi potensi bencana,” tutupnya. (*)